Adanya
perubahan nilai yang terjadi di masyarakat mengenai korupsi bukanlah hal yang
mengada-ada. Perilaku korupsi yang terjadi secara terus menerus berhasil
membentuk sebuah pembenaran bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi.
Contoh sederhana adalah ketika mengurus KTP, SIM, atau surat-surat penting lainnya, maka masyarakat cenderung
memberikan uang pelicin. Alasannya cukup klasik, yakni karena pasrah dengan
keadaan setelah menghadapi kenyataan dokumen-dokumen tersebut tidak keluar
padahal sudah mengikuti seluruh prosedur. Hal ini dapat terjadi karena pameo
yang cukup populer di kalangan birokrat adalah
“kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?” Sehingga mau/tidak
mau, suka/tidak suka, masyarakat harus mengikuti prosedur tambahan. Jika tidak
ingin terjebak dalam proses birokrasi yang berbelit-belit, masyarakat sudah
paham bagaimana cara mengatasinya.
Pun,
barangkali hanya terjadi di Indonesia, sudah korupsi malah dapat promosi.
Seorang yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi bisa mendapat promosi
jabatan setelah dia keluar penjara. Hal inilah yang dialami oleh Azirwan,
mantan Sekretaris Daerah Kabupaten
Bintan yang terbukti menyuap anggota DPR, Al-Amin Nasution, kini malah naik
pangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi Kepulauan Riau[1].
Layaknya
sinetron kejar tayang yang tak berkesudahan, begitu juga kasus-kasus korupsi.
Kasus terakhir yang begitu menyita perhatian masyarakat tidak terkecuali
Presiden ialah kasus simulator SIM. Kasus yang menyulut perseteruan antar dua lembaga penegak hukum. Cicak
melawan buaya season dua, tetapi
dengan pemeran serta kisah yang berbeda.
Suguhan
kasus demi kasus berdampak terhadap
pandangan masyarakat. Tidak sedikit yang memandang korupsi sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari birokrasi, atau yang lebih parah lagi ialah orang-orang
yang memandang korupsi merupakan gaya hidup para birokrat. Tanggapan bagi
seseorang yang terjerat kasus korupsi adalah bahwa pelaku hanya terkena sial.
Para birokrat-birokrat hanya menunggu waktu mendapat giliran. Demikian juga
dengan sikap para pelaku korupsi, mereka tanpa beban moral tampil dihadapan
publik tak ubahnya seperti artis dadakan yang tiba-tiba naik daun.
Perilaku-perilaku
korupsi terjadi disegala lini. Mulai birokrat rendah sampai birokrat tinggi.
Suguhan kebiasaan ini mengakibatkan akumulasi, sehingga masyarakat memandang
perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang legal.
Sebab-Sebab Korupsi Birokrasi
Menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk dipahami bahwa yang namanya sebuah kejahatan
tidak akan pernah berakhir dimuka bumi. Yang pasti, angka-angka kejahatan hanya
dapat diminimalisir. Sebagaimana hasil penelitian Thomas Moore, selama 25 tahun
ada 72.000 pencuri yang digantung di daerah dengan jumlah penduduk tiga sampai
empat juta orang saja, tetapi kejahatan terus saja merajalela. Menurut moore,
dengan kekerasan saja tidak akan membendung kejahatan. Untuk memberantas
kejahatan, harus dicari sebabnya dan menghapuskannya[2].
Sama halnya dengan korupsi, untuk dapat mengurangi angkanya kita harus
mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab. Adapun penyebab-penyebab
korupsi diantaranya :
1.
Kebudayaan
atau Kultur
Perilaku
para birokrat kita adalah bagaimana cara untuk mempersulit proses birokrasi.
Karena tidak ingin dipersulit maka masyarakat memilih untuk memberi uang
pelicin, itu baru dikalangan birokrat rendahan. Bagaimana dengan kalangan
birokrat tinggi? Sama saja, sebagai bukti adalah bagaimana para birokrat tinggi
menjadikan program-program pembangunan sebagai
lahan korupsi. Yang dijadikan sebagai sapi perahan tentu saja para
pengusaha-pengusaha. Di daerah pengusaha dijadikan objek pemerasan, dan didepan
hukum para pengusaha sering dipersalahkan dan dituduh menyuap[3].
Soedarso
didalam bukunya menyebut dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila
miliu itu ditinjau lebih lanjut, yang perlu diselidiki tentunya bukan miliu
orang satu persatu, melainkan yang secara umum meliputi, dirasakan dan
memengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian, mungkin kita bisa
menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelurkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa
korupsi itu secara diam-diam di-tolereer, bukan oleh penguasa, tetapi oleh
masyarakat sendiri. Kalau masyarakat umum mempunyai semangat antikorupsi
seperti mahasiswa pada waktu melakukan demonstarasi antikorupsi, maka korupsi
sungguh-sungguh tidak dikenal[4].
Menjadi
sebuah catatan dari pendapat Soedarso di atas adalah “seperti mahasiswa pada
melakukan demonstrasi antri korupsi”.
Dapat ditarik sebuah hipotesis, bahwa diluar demonstrasi mahasiswa juga
sebenarnya melakukan korupsi. Argumen ini di dasari atas pengertian korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari
kata berbahasa latin, yakni corruptio atau
corruptus yang berasal dari kata corrumpere. Kemudian turun ke
bahasa-bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; dan Belanda yakni corruptie[5]. Secara harfiah,
kata korupsi memiliki arti kebusukan, keburukan, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Jadi,
korupsi sebenarnya tidak hanya menyangkut persoalan keuangan negara atau perekonomian negara, namun sangat
luas. Perbuatan-perbuatan seperti membayar orang lain untuk mengerjakan tugas,
membayar petugas adminstrasi, atau bahkan yang lebih parah lagi adalah membayar
sang dosen untuk mendapatkan nilai yang bagus. Cerita mengenai penempaan tugas akhir atau skripsi
merupakan kisah yang tidak akan pernah berakhir. Keseluruhan perbuatan tersebut
termasuk ke dalam perbuatan korupsi!
Sebuah
realita bagaiman korupsi sudah dilegalkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan legalisasi korupsi itu sendiri dilakukan oleh agent of social change, agent of social control (mahasiswa).
2.
Manajemen
yang kurang Efektif dan Efisien
Salah
satu yang menjadi penyebab korupsi ialah, lemahnya sistem manjemen yang kurang
efektif dan efesien, sehingga kontrol terhadap birokrasi menjadi lemah. Hal
inilah yang menyebabkan para birokrat dapat bertindak sesuai kehendak
masing-masing. Tidak jarang, para birokrat melangggar aturan karena sistem
manajemen tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3.
Rendahnya
Gaji
Rendahnya
gaji merupakan permasalahan klasik penyebab terjadinya korupsi. Wertheim
mengemukakan, kurangnya gaji dan pemotongan gaji yang banyak merupakan penyebab
korupsi pada pegawai VOC dahulu kala[6].
Penyakit
korupsi inilah yang mengakibatkan usaha dagang Hindia Belanda tersebut harus
gulung tikar. Kebutuhan yang terus meningkat serta tidak selarasnya dengan
kenaikan gaji mengakibatkan seorang birokrat untuk melakukan perbuatan korupsi.
Tetapi
rendahnya gaji tidak melulu menjadi jaminan seseorang menjadi pelaku korupsi.
Dari sekian banyak pelaku korupsi saat ini, tidak sedikit yang memiliki gaji
yang lumayan besar serta duduk di jabatan strategis. Tak pelak hal ini
menimbulkan asumsi bahwa permasalahan gaji yang rendah bukan lagi menjadi faktor utama seseorang
untuk melakukan perbuatan korupsi.
4. Rendahnya Moral
Dapatlah
dikatakan bahwa para pelaku korupsi memiliki moral yang rendah. Mereka
menggadaikan idealisme serta melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam agama,
budaya, serta nilai yang ada didalam masyarakat. Yang menjadi prioritas adalah
bagaimana dapat menjadikan diri sebagai orang yang terhormat, memiliki jaringan
yang luas, serta harta yang berlimpah dengan jalan korupsi. Tidak ada lagi
bedanya, dimana pendapatan halal dan haram. Semua telah dicampur adukkan dalam
satu, mungkin saja ini bertujuan untuk “mengelabui” Tuhan dan masyarakat bahwa
uang yang didapat adalah uang murni hasil keringat sendiri. Memang benar uang
yang dicari dengan keringat sendiri, tapi dengan cara korupsi!
Dampak Korupsi
Begitu
banyak dan luas dampak yang disebabkan
oleh perbuatan korupsi. Diantaranya adalah daya saing Indonesia tahun ini
merosot akibat beberapa masalah mendasar, seperti kasus korupsi dan penyuapan. Laporan
Forum Ekonomi Dunia (WEF) soal daya saing global tahun 2012-2013 mengungkapkan
posisi Indonesia yang turun empat peringkat menjadi ke-50 dibanding tahun lalu.
WEF juga menggarisbawahi masalah perilaku tidak etis sektor swasta, hambatan
birokrasi, minimnya belanja pemerintah, serta infrastruktur yang belum
berkembang[7].
Dampak
lain korupsi ialah, kehancuran birokrasi itu sendiri. Birokrasi merupakan garda
terdepan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi
melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan
ketidakefisienan yang menyeluruh de dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi
dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum: yang menjangkiti masyarakat
dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri[8].
Dalam melaksanakan
tugasnya seringkali birokrasi sebagai pemegang kekuasaan berpotensi untuk
menyalahgunakan kewenangannya untuk melayani kepentingan diri sendiri.
Birokrasi semacam itu boleh jadi memang melayani masyarakat, namun ia juga
dapat menggunakan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan bagi para
pengelolanya. Setelah birokrasi hancur maka rentetan dampak korupsi lainnya
adalah meningkatnya angka kriminalitas serta pengangguran. Mengutip Sun Yan Set
yang menyatakan bahwa dampak korupsi ialah menimbulkan demoralisasi, keresahan
sosial, dan keterasingan politik. Dapatlah juga dikatakan bahwa perbuatan
korupsi merupakan bentuk penistaan terhadap tujuan negara.
Reformasi Birokrasi
Begitu banyak teori
yang membahas cara-cara serta bagaimana reformasi birokrasi dapat terwujud.
Namun, yang sedikit terlupakan adalah bagaimana sumber daya manusia dari
birokrasi itu sendirilah yang seharusnya memiliki sikap anti korupsi. Reformasi
birokrasi bertujuan untuk mewujudkan birokrasi yang baik. Birokrasi yang baik
adalah birokrasi yang mampu melayani masyarakat secara jujur, bersih, cepat dan
tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan. Birokrasi
semacam itu dapat disebut memiliki integritas yang tinggi, yakni berperilaku
sesuai dengan prinsip-prinsip moral tidak tergoda untuk melakukan korupsi[9]. Reformasi birokrasi
dengan mengusung tema anti korupsi, inilah yang harus digalakkan.
Selain itu, yang
harus dilakukan adalah meletakkan para
pejabat puncak pada tiap unit birokrasi
dari kalangan yang “bersih” dan “berani”. Bersih artinya bermoral, punya
track record (rekam jejak) tak pernah korup, dan tak punya masalah dengan
hukum. Berani artinya punya nyali untuk bertindak terhadap siapapun guna
mendobrak kejumudan birokrasi[10]. Bersih dan berani
merupakan persyaratan kumulatif yang
wajib pertama sekali dimiliki para birokrat, kemudian menyusul syarat-syarat
lainnya. Sehingga apabila hal diatas diterapkan, apa yang disebut dengan
birokrasi yang baik akan dapat terwujud.
Sikap Anti Korupsi
Respons
inkonsistensi masyarakat terhadap pelaku korupsi sangat terlihat jelas. Dari
sekian banyak pelaku korupsi, kita tidak pernah sekalipun mendengar pelaku
korupsi dihakimi massa seperti yang terjadi kepada pelaku kejahatan lainnya.
Bukan berarti penulis menyarankan agar pelaku korupsi diadili secara jalanan,
tidak. Tapi dari realita yang tampak oleh mata, bahwa pelaku korupsi mendapati
sebuah respons yang berbeda dari pelaku tindak pidana lainnya.
Sering
kita mendengar berita, seorang terpidana pelaku korupsi (terutama mantan kepala
daerah) yang baru saja keluar dari tahanan kemudian diarak mengelilingi kota
layaknya seorang pahlawan perang yang baru saja tiba dari medan peperangan.
Normalnya, keputusan hukum dan keputusan moral haruslah sejalan. Namun fakta
membuktikan hal yang sebaliknya! Bahkan masyarakat tampak enggan untuk
memberikan sanksi sosial untuk pelaku korupsi. Korupsi dapat terjadi bukan
terjadi hanya niat serta kesempatan. Tetapi juga karena adanya dukungan dari
lingkungan dan masyarakat. Sebagaimana yang disebutkan oleh William J.
Chambliss bahwa korupsi merupakan produk konstruksi sosial.
Tidak
hanya menjadi tanggung jawab para birokrat, namun juga seluruh komponen-elemen
masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang kian memburuk. Karena masyarakat juga
secara tidak sadar sesungguhnya terlibat dalam lingkaran korupsi itu sendiri.
Korupsi merupakan penyakit yang dapat menjangkiti siapa saja tanpa pandang
bulu. Lalu, bagaimana dengan mengobati yang sudah terjangkiti? Yang pasti
setiap penyakit selalu memiliki penawar. Untuk penawar penyakit korupsi adalah
bagaimana memberi sanksi yang tegas sehingga menimbulkan efek jera atau
sekalian saja me-legalisai korupsi birokrasi. Jadi, pungutan-pungatan liar
dijadikan pendapatan resmi atau legal.
Seperti
pameo kesehatan yang populer, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Selanjutnya untuk mencegah penyakit korupsi, penanaman nilai-nilai anti korupsi
melalui pendidikan masyarakat (public education) tampaknya akan sangat berperan
untuk memutus mata rantai korupsi. Pilihan berada ditangan kita, apakah tetap
terjebak dalam keadaan korupsi yang semakin merajalela sehingga negeri ini akan
runtuh secara perlahan atau memperbaiki keadaan dengan jalan melaksanakan sikap
anti korupsi. Revolusi yang diperlukan bangsa ini adalah revolusi mental, moral dan cara pandang terhadap korupsi.
Pertanyaannya
adalah, apakah kita dapat secara konsisten melaksanakan sikap anti korupsi?
Jika tidak, melihat kondisi yang ada sekarang, tidak berlebihan apabila penulis
mengatakan : Malaikat-pun apabila didudukkan dalam birokrasi negeri ini, akan
melakukan korupsi.
*Tulisan telah
diikutsertakan dalam Pekan Raya Justisia Fair Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan mendapat peringkat 5
[2] W.A.
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan
R.A. Koesnon, Jakarta : PT Pembangunan, 1955, hlm. 46
[3] http://www.antaranews.com/berita/politisi/pengusaha-sering-diperas-di-daerah.html
[4] B.
Soedarso, Korupsi di Indonesia,
Jakarta : Bharata Karya Aksara, 1969, hlm. 14.
[5] Kamus
Hukum, Fockema Andrea. Bandung : Bina Cipta. 1983.
[6] W.F.
Wertheim, Segi-segi Sosiologi Korupsi di Asia Tenggara, dalam Mochtar lubis dan
James C. Scott, Bunga Rampai Karangan-Karangan Etika Mengenai Pegawai Negeri,
Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977. hlm. 22.
[7] Sumber :
Koran Tempo, 6 September 2012
[8] http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html
[10] Prof.
Dr. Moh. Mahfud MD, dalam artikel kompas, 11 Oktober 2005.