Ditolaknya Kasasi Terhadap Putusan Bebas Atas Dasar Kesalahan/Kelalaian Korban

sumber gambar : www.metrotvnews.com



Putusan ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531/K./Pid/2011 yang diputus pada tanggal 4 Januari 2012, yakni putusan bebas atas dasar kesalahan/kelalaian korban. Putusan ini terdiri atas majelis yang diketuai oleh Hakim Agung H.Imron Anwari, S.H. SpN. M.H., serta Hakim Agung Prof. Dr. H. M. Hakim Nyak Pha, S.H., DEA dan Hakim Agung Timur P. Manurung, S.H., M.M. yang masing-masing sebagai Anggota Majelis.
Untuk melihat putusan secara lengkap dapat membuka link berikut http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/21d334b71bd0cc79566bbeb2fcf5845e

Fakta hukum dalam Putusan tersebut  adalah sebagai berikut :

Kasus ini berawal ketika pada hari selasa tanggal 1 Februari tahun 2011 Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. mengemudikan mobil Mitsubishi L. 300 No. Pol L 9399 NE di Jalan Raja Pandita Daerah Tanjung Belimbing Rt. 05 kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau. Pada saat  bersamaan, datang dari arah berlawanan korban Susilawati dengan mengendarai sepeda motor yang hendak mendahului atau menyalip kendaraan yang ada didepannya. Sehingga menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban bersenggolan dengan kendaraan Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian depan kanan serta lampu depan kanan mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati terjatuh.
Akibat terjatuh dari motor tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Berdasarkan hasil visum Et Repertum Nomor : 038/VER/RM-RSUD/Mln//II2011 tanggal 03 Februari 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Leon Agung Manurung dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Malinau. Kesimpulan hasil pemeriksaan tersebut adalah “Kerusakan yang disebabkan oleh trauma tumpul”.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum :
            Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Malinau tanggal 13 April 2011 sebagai berikut :
1.    Menyatakan Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. bersalah melakukan tindak pidana dalam hal yang mengemudikan kenderaan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia sebagaimana dalam surat dakwaan;
2.    Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan ;
3.    Menyatakan barang bukti berupa : …dst.

Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Negeri Malinau memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :
1.    Menyatakan Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum ;
2.    Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut ;
3.    Menetapkan “Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya” ;
4.    Menetapkan “Memerintahkan Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan” ;
5.    Menetapkan barang bukti berupa ; …dst.

Selanjutnya dalam perkara ini Penuntut umum mengajukan kasasi dengan alasan-alasan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
·         Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau dalam memutuskan yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan sehingga membebaskan Terdakwa menurut Kami merupakan pikiran yang terlalu dangkal dan sempit sehingga Majelis Hakim mengenyampingkan fakta-fakta di persidangan (keterangan saksi-saksi dan Terdakwa bahwa sebelum terjadi tabrakan korban Susilawati telah membunyikan bel atau klakson kepada Terdakwa namun Terdakwa tidak berusaha menghindar ke kiri jalan ataupun mengerem serta mengenyampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
I.        Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1403.K/Pid/1987 tanggal 31 Juli 1989 tentang kesalahan korban bukan alasan pemaaf. Pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut : …dst.
II.      Putusan Mahkamah Agung Nomor : 205 K/Kr/1980 tanggal 17 November 1980, bahwa kesalahan pihak lain (korban) tidak menghapuskan kesalahan.

·         Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan Terdakwa saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa yang merusak kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap Terdakwa tersebut dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara keluarga korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan timbul gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.


Pertimbangan Mahkamah Agung yakni:
            Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan jika putusan Judex Facti adalah bebas yang tidak murni.
Bahwa Terdakwa tidak terdapat kesalahannya yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan Mitsubishi L.300 Nomor Pol. L 9399 NE pada tanggal 1 Februari 2011, dengan bukti-bukti :
·         Bahwa pada saat mengendarai tersebut Terdakwa tetap pada jalurnya, tidak pernah melintas sehingga melanggar marka jalan ;
·         Bahwa justru kendaraan korban yang bernama Susilawati berupa sepeda motor Honda Vario Nomor Pol. KT 4433 TE dari arah yang berlawanan dengan arah kendaraan Terdakwa dengan kecepatan tinggi menyalip kendaraan yang ada di depannya hingga melewati marka jalan dan karena terlalu ke kanan sehingga menabrak kendaraan Terdakwa mengenai bagian depannya hingga rusak mobil Terdakwa sebelah kanan dan kaca spion kanan pecah ;
·         Bahwa kendaraan korban saat itu tidak pakai lampu dan atau Richting
·         Bahwa dari fakta tersebut kepada Terdakwa tidak dapat dipersalahkan karenanya tidak dapat dipidana (Oen Straff Zonder Schuld) ;


Putusan Mahkamah Agung :
Menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasai/Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Malinau tersebut ;

Analisa dan Opini
Norma/Dasar Hukum
Terdakwa di dakwa dengan dakwaan tunggal oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Unsur Kelalaian
Dalam rumusan pasal ini terdapat unsur yang harus terpenuhi yakni unsur karena kelalaiannya yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kelalaian. Akibat dari kelalaian (culpa) merupakan akibat yang tidak dikehendaki, karena memang tidak ada niat dari pelaku.
Kelalaian (culpa) merupakan salah satu syarat subjektif untuk menjerat pasal pidana kepada seseorang. Van Hamel membagi kelalaian atas dua jenis, yaitu kurang melihat ke depan yang perlu dan kurang hati-hati yang perlu. Kurang melihat ke depan yang perlu adalah apabila terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi. Sedangkan kurang hati-hati yang perlu adalah seperti misalnya seseorang menarik pelatuk pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada)[1].
Lebih lanjut, Sianturi dalam bukunya[2] menyebutkan beberapa kelalaian dapat diterangkan dari berbagai sudut (Sianturi menyebutnya dengan istilah kealpaan). Kealpaan dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan dan dilihat dari sudut kesadaran (beweustheid) pelaku. Dari sudut kesadaran ini terbagi lagi atas kelalaian yang disadari dan kelalain yang tidak disadari. Dikatakan sebagai “kealpaan yang disadari”, jika pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat, namun akibat itu timbul juga. Dan dikatakan sebagai “kealpaan yang tidak disadari” bilamana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya menurut perhitungan umum/yang layak pelaku dapat membayangkannya. Ringkasnya bahwa akibat yang timbul disebabkan oleh tidak adanya kehati-hatian pelaku.
Namun Professor Van Hamel berpendapat bahwa tidak semua culpa dapat dikembalikan kepada “tidak adanya kehati-hatian” dan kepada “kurang perhatian terhadap akibat yang timbul” ataupun kepada  “tidak adanya perhatian ke depan yang diperlukan” atau kepada tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan”. Professor Van Hamel mengambil contoh misalnya seorang penjaga pintu jalan kereta api yang sudah berhati-hati dan sadar akan ada kemungkinan timbulnya suatu kecelakaan apabila ia meninggalkan tempat tugasnya, namun pada suatu malam terjadi suatu hujan yang sangat deras dan penjaga pintu tersebut tetap berada di posnya untuk mencegah kedinginan dan kehujanan, namun karena kehangatan di dalam gardu, diapun segera tertidur sehingga ketika pagi hari ada kereta api yang tertabrak karena pintu kereta api tidak ditutup penjaga pintu yang sedang tertidur pulas. Dalam pandangan Professor Van Hamel, beliau berpandangan bahwa penjaga kereta api tersebut bisa dituntut bukan karena “tidak mempunyai kehati-hatian” ataupun “kurang mempunyai perhatian terhadap kemungkinan timbulnya suatu kecelaan”. Menurut beliau, penjaga pintu kereta api di dalam kasus tersebut bisa dituntut karena kesalahannya dapat menyebabkan kecelakaan dan meninggalnya banyak orang[3].
Bahwa dari uraian tersebut dapat/tidaknya seseorang dimintakan pertanggung jawaban pidananya harus diteliti dan dapat dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat kesalahan pada diri pelaku. Atau dapat dikatakan seseorang lalai apabila perbuatan yang dilakukannya terdapat unsur kesalahan sehingga kesalahan tersebutlah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana.
Untuk menilai adakah unsur kelalaian yang dilakukan Terdakwa, harus dilihat pembuktian atas peristiwa tindak pidana tersebut. Apabila pembuktian di persidangan menunjukan bahwa Terdakwa melaju pada jalur yang memang seharusnya dapat dikatakan bahwa Terdakwa tidak terdapat unsur kekurang hati-hatian yang memungkinan terjadinya kecelakaan. Atau apakah unsur kelalaian justru ada di pihak korban, karena korban saat itu sudah ada unsur kekuranghati-hatian dan seharusnya korban menyadari bahwa tindakannya bisa menimbulkan suatu kecelakaan.
Uraian kasus ini sebagaimana telah dimuat dalam fakta persidangan di atas disebutkan bahwa kendaraan Terdakwa bersenggolan dengan kendaraan Korban dikarenakan kendaraan Korban datang dari arah berlawanan hendak mendahului atau menyalip kendaraan yang ada didepannya. Sehingga menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban bersenggolan dengan kendaraan Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian depan kanan serta lampu depan kanan mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati terjatuh.  Akibat terjatuh dari motor tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Dari fakta persidangan tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya, kelalaian/kekurang hati-hatian korbanlah yang mengakibatkan dirinya meninggal.
Lantas, apakah hal tersebut termasuk sebagai kategori alasan pembenar ataupun sebagai alasan pemaaf untuk menghapus tanggung jawab pidana terdakwa?

Teori Penghapusan Pidana
Alasan penghapusan pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan. Yang pertama ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan, bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan ketentuan hukum yang membenarkan perbuatan yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Ia harus dibedakan dengan dan dipisahkan dari dasar pemidanaan penuntutan menghapuskan hak menuntut jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang[4].
Di dalam pengaturan peraturan perundang-undangan, dikenal dua alasan penghapus pidana. Yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf. Yang termasuk dalam alasan pembenar ialah keadaan darurat, pembelaan terpaksa, menjalankan peraturan perundang-undangan dan menjalankan perintah jabatan yang sah. Sementara, yang termasuk dalam alasan pemaaf terdiri atas tidak mampu bertanggung jawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampau batas dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah[5]. Lebih lanjut pengaturan alasan penghapusan pidana tersebut didapati pada pasal Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Akibat hukum dari alasan penghapus pidana ialah putusan hakim yang berupa putusan bebas atau putusan lepas. Selain pembagaian alasan penghapusan pidana yang telah disebutkan, ilmu pengetahuan(doktrin) mengenal juga pembagian atas :
1.    dasar pembenar, yaitu sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh hakim.
2.    dasar pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum[6].
Alasan penghapusan pidana karena dasar pemaaf ini berkaitan dengan pelaku yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Yang merupakan asas “tiada pidana tanpa adanya kesalahan”. Pelaku tidak akan dijatuhi hukuman/dipidana oleh hakim meskipun perbuatannya itu sudah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, perbuatan itu dimaafkan[7].  Terhadap kasus ini yang menjadi persolan ialah apakah kelalaian korban dapat diterima sebagai alasan pemaaf, lalu apakah hal ini menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk membebaskan terdakwa?

Analisa Putusan Pengadilan Negeri[8]

1.Tentang Pertimbangan Hukum
            Pengadilan Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur kelalaian yang terdapat pada halaman 27 sampai dengan halaman 36 berkesimpulan bahwa unsur kelalaian dalam perbuatan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Mengenai hal tersebut, pandangan penulis bahwa Hakim Pengadilan Negeri Malinau telah memberikan pertimbangan hukum yang tepat mengenai tidak terdapatnya unsur kesalahan yakni unsur kelalaian/kekurang hati-hatian pada diri Terdakwa. Majelis Hakim berpandangan, bahwa dalam diri korbanlah yang terdapat unsur kelalaian/kekurang hati-hatian, dimana sewaktu Korban mendahului kendaraan yang berada didepannya telah melewati marka atau batas jalan sehingga menyebabkan kendaraan Korban dan Terdakwa bersenggolan. Hal inilah yang dijadikan dasar hukum oleh Pengadilan Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya bahwa kesalahan ada pada diri/perbuatan korban.
Dengan tidak terdapatnya unsur kesalahan yakni unsur kelalaian pada diri Terdakwa, maka pertimbangan Hukum Pengadilan Negeri Malinau menurut penulis termasuk sebagai alasan pemaaf yang sesuai dengan ilmu pengetahuan/doktrin.


2.Tentang Putusan Pengadilan Negeri Malinau 
            Mengenai bunyi Putusan Pengadilan Negeri Malinau dalam perkara ini yang telah membebaskan Terdakwa sudah tepat. Meskipun alasan penghapus pidana yang diterapkan kepada Terdakwa ialah berdasarkan ilmu pengetahuan/doktrin, bukan berdasarkan alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam mengadili perkara, hakim memiliki kebebasan serta menentukan hukumnya secara konkret terhadap suatu peristiwa pidana. Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara yang paling diutamakan adalah fakta atas peristiwa pidana yang terjadi. Melalui hukum, hakim berperan sebagai penentu siapa yang benar dan yang siapa yang harus bertanggung jawab.
Pengadilan diotorisasi oleh tata hukum untuk memutuskan kasus dalam diskresinya sendiri, untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk menerima atau menolak tuntutan, untuk memerintahkan atau menolak memerintahkan suatu sanksi kepada terdakwa atau tergugat[9]. Kebebasan dimiliki oleh hakim untuk tidak hanya menemukan hukum namun juga menciptakan.
Selanjutnya, dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Malinau yang alasan-alasannya telah di uraikan di atas. Ada dua poin pokok alasan Kasasi Jaksa Penuntut Umum yang dapat disimpulkan. Pertama ialah bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan  bersalah melakukan tindak pidana hanya mementingkan kepentingan Terdakwa dan mengenyampingkan fakta-fakta persidangan. Kedua ialah mengenai Majelis Hakim telah mengenyampingkan yurisprudensi Mahkamah Agung. Atas kedua alasan tersebut, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau telah salah menerapkan hukum.
Fakta fakta hukum yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum dalam kasasi merupakan pengulangan fakta di dalam persidangan Pengadilan Negeri Malinau. Atas alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah “pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang[10]. Menyangkut Yurisprudensi No. 1403.K/Pid/1987 dan No. 205 K/Kr/1980 yang dikutip oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada intinya menyebutkan bahwa adanya kesalahan/kelalaian korban tidaklah berarti menghapuskan kesalahan Terdakwa. Sebelumnya di dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Malinau (pada halaman 34) sudah mengutip Yurisprudensi No. 1104.K/Pid/1990 “Ternyata kendaraan yang dikenderai oleh Terdakwa berada di jalurnya yang benar sehingga tidak terbukti adanya unsur kelalaian/kealpaan pada diri Terdakwa”. Atas hal ini akan diuraikan lebih lanjut bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung.
Selain itu Jaksa Penuntut umum mengemukakan alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara. Yakni bahwa Putusan Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan Terdakwa saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa yang merusak kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap Terdakwa tersebut dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara keluarga korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan timbul gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.
Alasan seperti ini sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkuan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan[11]. Selain di luar konteks hukum, sebenarnya Jaksa Penuntut Umum terlalu berlebihan menjadikan hal tersebut sebagai alasan di dalam kasasi.
Bukankah telah perdamaian terjadi antara pihak Korban dan  Terdakwa? Hal ini dapat dilihat dalam halaman 37 Putusan Pengadilan Negeri Malinau “bahwa meskipun unsur kelalaian tidak ditemukan dalam perbuatan terdakwa, namun terdakwa dan keluarganya telah melakukan itikat baik perdamaian dan bersedia memberikan uang duka kepada pihak keluarga korban sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan uang pemakaman sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), uang sebesar Rp.70.000.000,- (tuju puluh juta rupiah) yang dibayar secara bertahap selama 4 (empat) bulan, bantuan 200 sak semen serta bantuan lainnya sebagaimana tertuang dalam surat penyataan perdamaian yang terlampir dalam berkas perkara ini.”

Analisa Putusan Mahkamah Agung

1.Tentang Pertimbangan Hukum

            Mengenai pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara ini, menurut penulis sudah tepat. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa Terdakwa tidak dapat kesalahannya yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pertimbangan Mahkamah Agung ini memperkuat pertimbangan Pengadilan Negeri Malinau. Bahwa kelalaian/kekurang hati-hatian terdapat dalam diri Korban. Mahkamah Agung memberikan penguatan bahwa kesalahan dari korban dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf.
Dalam perkara ini, kita dapat melihat kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kebebasan yang dimiliki seorang hakim untuk mengarahkan tindakannya sesuai dengan kehendaknnya dapat berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan. Dalam arti, seorang hakim dapat bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum atau norma atau aturan yang dijadikan pegangan organisasi bersama oleh para hakim atau oleh organisasinya[12]. Hakim juga kembali kepada asas tiada pidana tanpa kesalahan (oen straff zonder schuld).
Mengenai pertimbangan bebas murni dan tidak murni sudah tidak relevan lagi untuk dibahas. Karena berdasarkann Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 28 maret 2013, Mahkamah Konstitusi membatalkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang intinya bahwa setiap putusan bebas dapat diajukan kasasi[13]. Berdasarkan uraian-uraian tersebut telah sesuai dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaran peradilan pada semua badan peradilan yang berada dibawahnya dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman[14]

2.Tentang Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung dapat memperkuat putusan pengadilan yang berada dibawahnya, dalam perkara ini adalah Putusan Negeri Malinau. Yang amar putusannya ialah membebaskan Terdakwa karena tidak terdapatnya kesalahan/kelalaian pada diri Terdakwa. Mahkamah Agung telah memberikan putusan sesuai teori/doktrin alasan pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Meskipun di dalam peraturan perundang-undangan tidak mengenal/di atur bahwa kesalahan/kelalaian korban bukanlah sebagai alasan pemaaf. Namun Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung mengesampingkan ketentuan hukum. Kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah-kaidah yang sah (mempunyai validity), tetapi juga harus merupakan kaidah-kaidah yang adil (harus mempunyai value)[15]. Bahwa Tujuan hukum yang terpenting adalah untuk mencapai keadilan di dalam masyarakat. Aparat penegak hukum sering begitu saja larut dalam rimba logika aturan yang serba formal legalistik tanpa tergugah melakukanh refleksi mengenai aturan yang dihadapinya.
Namun dalam putusan ini, penulis melihat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung sudah berani keluar dari pakem peraturan perundang-undangan yang kaku. Dalam ungkapan Prof Satjipto Rahardjo aparat penegak hukum perlu memiliki kemampuan membaca kaidah, bukan membaca peraturan. Kaidah itu adalah makna spritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai disitu saja bisa membawa malapetaka[16].
Putusan Mahkamah Agung ini juga diperkuat oleh ilmu pengetahuan/doktrin serta asas. Alasan pemaaf sesuai doktrin menyebutkan unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Artinya bahwa kesalahan/kelalaian ada pada diri Korban. Bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Sehingga Terdakwa harus dibebaskan.


Sikap dan Pandangan Penulis
Dalam putusan ini, terdapat permasalahan hukum yang menarik yaitu pengajuan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atas dasar kelalaian kobran. Meskipun secara normatif di dalam peraturan perundang-undangan tidat mengenal/tidak diatur alasan pemaaf karena kesalahan/kelalaian korban. Namun didalam doktrin hal tersebut merupakan sebagai salah satu alasan pemaaf. Melalui yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa kesalahan pihak lain (korban) tidak menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tetapi Pengadilan Negeri Malinau dan Mahkamah Agung telah melakukan terobosan hukum dengan mengesampingkan Yurisprudensi, bahwa kelalaian/kesalahan korban dijadikan sebagai alasan pemaaf untuk membebaskan Terdakwa.

Tugas hakim didalam memeriksa dan memutus perkara selain praktis tetapi juga ilmiah. Atas kedua hal tersebut menyebabkan hakim harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk menguatkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebagai dasar putusannya. Dalam menciptakan hukum yang ideal, hakim harus memiliki keberanian untuk mengadili perkara agar mendapatkan keputsan yang seadil-adilnya serta tentu saja haruslah ditopang oleh ilmu pengetahuan hukum.

Sebagai penutup penulis mengutip Cardozo, seorang hakim dari Amerika
The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches in not discovery, but creation”.



[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Sofmedia, 2012), Hlm. 142
[2] E.Y. Kanter Sianturi dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dalam Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), Hlm. 194
[3] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), Hlm. 336-337
[4] H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hlm 189.
[5] Schaffmeister, N. Keijzer, PH Sutorius., Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 54.  -catatan : Di dalam buku, kutipan berbentuk skema/tabel.
[6] H.A. Zainal Abidin Farid. Op.Cit. Hlm 203.
[7] H.M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung : PT Refika Aditama, 2012), Hlm. 99
[9] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Konstitusi Press, 2012),Hlm. 118
[10] M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 569
[11] M.Yahya Harahap, Ibid. Hlm. 570
[12] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 42
[14] Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang No 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
[15] Soenarti Hartono, Apakah The Rule of Law Itu? (Bandung : Alumni, 1976), Hlm. 114
[16] Benard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm.62-63



*Tulisan ini bertujuan untuk mengubah persepsi apabila terjadi kecelakaan antara "kendaraan besar" dengan  "kendaraan kecil"maka yang salah adalah adalah kendaraan yang lebih besar.