sumber gambar : www.metrotvnews.com |
Putusan ini terdapat
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531/K./Pid/2011 yang diputus pada tanggal 4
Januari 2012, yakni putusan bebas atas dasar kesalahan/kelalaian korban. Putusan ini terdiri atas majelis
yang diketuai oleh Hakim Agung H.Imron Anwari, S.H. SpN. M.H., serta Hakim
Agung Prof. Dr. H. M. Hakim Nyak Pha, S.H., DEA dan Hakim Agung Timur P.
Manurung, S.H., M.M. yang masing-masing sebagai Anggota Majelis.
Untuk melihat putusan
secara lengkap dapat membuka link berikut http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/21d334b71bd0cc79566bbeb2fcf5845e
Fakta hukum dalam Putusan tersebut adalah sebagai berikut
:
Kasus ini berawal
ketika pada hari selasa tanggal 1 Februari tahun 2011 Terdakwa Ahrens Williams
Alias Angau Anak dari William A. mengemudikan mobil Mitsubishi L. 300 No. Pol L
9399 NE di Jalan Raja Pandita Daerah Tanjung Belimbing Rt. 05 kecamatan Malinau
Kota, Kabupaten Malinau. Pada saat bersamaan,
datang dari arah berlawanan korban Susilawati dengan mengendarai sepeda motor yang
hendak mendahului atau menyalip kendaraan yang ada didepannya. Sehingga
menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban bersenggolan dengan kendaraan
Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian depan kanan serta lampu depan kanan
mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati terjatuh.
Akibat terjatuh dari
motor tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Berdasarkan hasil visum Et
Repertum Nomor : 038/VER/RM-RSUD/Mln//II2011 tanggal 03 Februari 2011 yang
dibuat dan ditandatangani oleh dr. Leon Agung Manurung dokter pada Rumah Sakit
Umum Daerah Malinau. Kesimpulan hasil pemeriksaan tersebut adalah “Kerusakan
yang disebabkan oleh trauma tumpul”.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
:
Membaca
tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Malinau tanggal 13
April 2011 sebagai berikut :
1. Menyatakan
Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. bersalah melakukan
tindak pidana dalam hal yang mengemudikan kenderaan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia sebagaimana dalam surat dakwaan;
2. Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A.
dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan ;
3. Menyatakan
barang bukti berupa : …dst.
Berdasarkan hal tersebut,
Pengadilan Negeri Malinau memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :
1. Menyatakan
Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh
Penuntut Umum ;
2. Membebaskan
Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut ;
3. Menetapkan
“Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya” ;
4. Menetapkan
“Memerintahkan Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan” ;
5. Menetapkan
barang bukti berupa ; …dst.
Selanjutnya dalam perkara ini Penuntut
umum mengajukan kasasi dengan alasan-alasan yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut :
·
Bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Malinau dalam memutuskan yang menyatakan Terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
yang didakwakan sehingga membebaskan Terdakwa menurut Kami merupakan pikiran
yang terlalu dangkal dan sempit sehingga Majelis Hakim mengenyampingkan
fakta-fakta di persidangan (keterangan saksi-saksi dan Terdakwa bahwa sebelum
terjadi tabrakan korban Susilawati telah membunyikan bel atau klakson kepada
Terdakwa namun Terdakwa tidak berusaha menghindar ke kiri jalan ataupun
mengerem serta mengenyampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
I.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
: 1403.K/Pid/1987 tanggal 31 Juli 1989 tentang kesalahan korban bukan alasan
pemaaf. Pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut : …dst.
II. Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 205 K/Kr/1980 tanggal 17 November 1980, bahwa kesalahan
pihak lain (korban) tidak menghapuskan kesalahan.
·
Bahwa putusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan Terdakwa saja tanpa
mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa yang merusak
kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap Terdakwa tersebut
dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan dan tidak
menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara keluarga
korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan timbul
gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.
Pertimbangan Mahkamah Agung yakni:
Bahwa
alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak
salah menerapkan hukum dan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan jika
putusan Judex Facti adalah bebas yang tidak murni.
Bahwa Terdakwa tidak
terdapat kesalahannya yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan
Mitsubishi L.300 Nomor Pol. L 9399 NE pada tanggal 1 Februari 2011, dengan
bukti-bukti :
·
Bahwa pada saat mengendarai
tersebut Terdakwa tetap pada jalurnya, tidak pernah melintas sehingga melanggar
marka jalan ;
·
Bahwa justru kendaraan
korban yang bernama Susilawati berupa sepeda motor Honda Vario Nomor Pol. KT
4433 TE dari arah yang berlawanan dengan arah kendaraan Terdakwa dengan
kecepatan tinggi menyalip kendaraan yang ada di depannya hingga melewati marka
jalan dan karena terlalu ke kanan sehingga menabrak kendaraan Terdakwa mengenai
bagian depannya hingga rusak mobil Terdakwa sebelah kanan dan kaca spion kanan
pecah ;
·
Bahwa kendaraan korban saat
itu tidak pakai lampu dan atau Richting
·
Bahwa dari fakta tersebut
kepada Terdakwa tidak dapat dipersalahkan karenanya tidak dapat dipidana (Oen
Straff Zonder Schuld) ;
Putusan Mahkamah Agung :
Menyatakan tidak
dapat menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasai/Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Malinau tersebut ;
Analisa dan Opini
Norma/Dasar
Hukum
Terdakwa di dakwa dengan
dakwaan tunggal oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 310 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Unsur
Kelalaian
Dalam rumusan pasal
ini terdapat unsur yang harus terpenuhi yakni unsur karena kelalaiannya yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Meskipun undang-undang tidak
memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kelalaian.
Akibat dari kelalaian (culpa) merupakan akibat yang tidak dikehendaki, karena
memang tidak ada niat dari pelaku.
Kelalaian (culpa)
merupakan salah satu syarat subjektif untuk menjerat pasal pidana kepada
seseorang. Van
Hamel membagi kelalaian atas dua jenis, yaitu kurang melihat ke depan yang
perlu dan kurang hati-hati yang perlu. Kurang melihat ke depan yang perlu
adalah apabila terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak
membayangkan akibat yang terjadi. Sedangkan kurang hati-hati yang perlu adalah
seperti misalnya seseorang menarik pelatuk pistol karena mengira tidak ada
isinya (padahal ada)[1].
Lebih lanjut,
Sianturi dalam bukunya[2]
menyebutkan beberapa kelalaian dapat diterangkan dari berbagai sudut (Sianturi
menyebutnya dengan istilah kealpaan). Kealpaan dilihat dari sudut kecerdasan
atau kekuatan ingatan dan dilihat dari sudut kesadaran (beweustheid) pelaku.
Dari sudut kesadaran ini terbagi lagi atas kelalaian yang disadari dan kelalain
yang tidak disadari. Dikatakan sebagai “kealpaan yang disadari”, jika pelaku
dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia
melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat, namun
akibat itu timbul juga. Dan dikatakan sebagai “kealpaan yang tidak disadari”
bilamana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi
seharusnya menurut perhitungan umum/yang layak pelaku dapat membayangkannya.
Ringkasnya bahwa akibat yang timbul disebabkan oleh tidak adanya kehati-hatian
pelaku.
Namun Professor Van Hamel berpendapat
bahwa tidak semua culpa dapat
dikembalikan kepada “tidak adanya kehati-hatian” dan kepada “kurang perhatian
terhadap akibat yang timbul” ataupun kepada “tidak adanya perhatian ke
depan yang diperlukan” atau kepada tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan”.
Professor Van Hamel mengambil contoh misalnya seorang penjaga pintu jalan
kereta api yang sudah berhati-hati dan sadar akan ada kemungkinan timbulnya
suatu kecelakaan apabila ia meninggalkan tempat tugasnya, namun pada suatu
malam terjadi suatu hujan yang sangat deras dan penjaga pintu tersebut tetap
berada di posnya untuk mencegah kedinginan dan kehujanan, namun karena
kehangatan di dalam gardu, diapun segera tertidur sehingga ketika pagi hari ada
kereta api yang tertabrak karena pintu kereta api tidak ditutup penjaga pintu
yang sedang tertidur pulas. Dalam pandangan Professor Van Hamel, beliau
berpandangan bahwa penjaga kereta api tersebut bisa dituntut bukan karena
“tidak mempunyai kehati-hatian” ataupun “kurang mempunyai perhatian terhadap
kemungkinan timbulnya suatu kecelaan”. Menurut beliau, penjaga pintu kereta api
di dalam kasus tersebut bisa dituntut karena kesalahannya dapat menyebabkan
kecelakaan dan meninggalnya banyak orang[3].
Bahwa dari uraian
tersebut dapat/tidaknya seseorang dimintakan pertanggung jawaban pidananya
harus diteliti dan dapat dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat kesalahan
pada diri pelaku. Atau dapat dikatakan seseorang lalai apabila perbuatan yang
dilakukannya terdapat unsur kesalahan sehingga kesalahan tersebutlah yang
menyebabkan terjadinya tindak pidana.
Untuk menilai adakah unsur kelalaian
yang dilakukan Terdakwa, harus dilihat pembuktian atas peristiwa tindak pidana
tersebut. Apabila pembuktian di persidangan menunjukan bahwa Terdakwa melaju
pada jalur yang memang seharusnya dapat dikatakan bahwa Terdakwa tidak terdapat
unsur kekurang hati-hatian yang memungkinan terjadinya kecelakaan. Atau apakah
unsur kelalaian justru ada di pihak korban, karena korban saat itu sudah ada
unsur kekuranghati-hatian dan seharusnya korban menyadari bahwa tindakannya
bisa menimbulkan suatu kecelakaan.
Uraian kasus ini
sebagaimana telah dimuat dalam fakta persidangan di atas disebutkan bahwa
kendaraan Terdakwa bersenggolan dengan kendaraan Korban dikarenakan kendaraan
Korban datang dari arah berlawanan hendak mendahului atau menyalip kendaraan
yang ada didepannya. Sehingga menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban
bersenggolan dengan kendaraan Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian
depan kanan serta lampu depan kanan mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati
terjatuh. Akibat terjatuh dari motor
tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Dari fakta persidangan tersebut,
dapat diketahui bahwa sebenarnya, kelalaian/kekurang hati-hatian korbanlah yang
mengakibatkan dirinya meninggal.
Lantas, apakah hal tersebut
termasuk sebagai kategori alasan pembenar ataupun sebagai alasan pemaaf untuk
menghapus tanggung jawab pidana terdakwa?
Teori
Penghapusan Pidana
Alasan penghapusan
pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan. Yang pertama
ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan, bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan
hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan
ketentuan hukum yang membenarkan perbuatan yang memaafkan pembuat. Dalam hal
ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Ia
harus dibedakan dengan dan dipisahkan dari dasar pemidanaan penuntutan
menghapuskan hak menuntut jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang[4].
Di dalam pengaturan peraturan
perundang-undangan, dikenal dua alasan penghapus pidana. Yakni alasan pembenar
dan alasan pemaaf. Yang termasuk dalam alasan pembenar ialah keadaan darurat,
pembelaan terpaksa, menjalankan peraturan perundang-undangan dan menjalankan
perintah jabatan yang sah. Sementara, yang termasuk dalam alasan pemaaf terdiri
atas tidak mampu bertanggung jawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampau
batas dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah[5].
Lebih lanjut pengaturan alasan penghapusan pidana tersebut didapati pada pasal
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Akibat hukum dari
alasan penghapus pidana ialah putusan hakim yang berupa putusan bebas atau
putusan lepas. Selain pembagaian alasan penghapusan pidana yang telah
disebutkan, ilmu pengetahuan(doktrin) mengenal juga pembagian atas :
1. dasar
pembenar, yaitu sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti,
sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh hakim.
2. dasar
pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada
pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum[6].
Alasan penghapusan pidana karena dasar
pemaaf ini berkaitan dengan pelaku yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali.
Yang merupakan asas “tiada pidana tanpa adanya kesalahan”. Pelaku tidak akan
dijatuhi hukuman/dipidana oleh hakim meskipun perbuatannya itu sudah memenuhi
unsur-unsur dari tindak pidana, perbuatan itu dimaafkan[7].
Terhadap kasus ini yang menjadi persolan
ialah apakah kelalaian korban dapat diterima sebagai alasan pemaaf, lalu apakah
hal ini menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk membebaskan terdakwa?
Analisa
Putusan Pengadilan Negeri[8]
1.Tentang Pertimbangan Hukum
Pengadilan
Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur kelalaian yang terdapat pada halaman 27 sampai dengan halaman
36 berkesimpulan bahwa unsur kelalaian dalam perbuatan Terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan.
Mengenai hal
tersebut, pandangan penulis bahwa Hakim Pengadilan Negeri Malinau telah
memberikan pertimbangan hukum yang tepat mengenai tidak terdapatnya unsur
kesalahan yakni unsur kelalaian/kekurang hati-hatian pada diri Terdakwa.
Majelis Hakim berpandangan, bahwa dalam diri korbanlah yang terdapat unsur
kelalaian/kekurang hati-hatian, dimana sewaktu Korban mendahului kendaraan yang
berada didepannya telah melewati marka atau batas jalan sehingga menyebabkan
kendaraan Korban dan Terdakwa bersenggolan. Hal inilah yang dijadikan dasar
hukum oleh Pengadilan Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya bahwa
kesalahan ada pada diri/perbuatan korban.
Dengan tidak
terdapatnya unsur kesalahan yakni unsur kelalaian pada diri Terdakwa, maka
pertimbangan Hukum Pengadilan Negeri Malinau menurut penulis termasuk sebagai alasan pemaaf yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan/doktrin.
2.Tentang Putusan Pengadilan Negeri
Malinau
Mengenai
bunyi Putusan Pengadilan Negeri Malinau dalam perkara ini yang telah
membebaskan Terdakwa sudah tepat. Meskipun alasan penghapus pidana yang
diterapkan kepada Terdakwa ialah berdasarkan ilmu pengetahuan/doktrin, bukan
berdasarkan alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam mengadili perkara, hakim memiliki kebebasan serta
menentukan hukumnya secara konkret terhadap suatu peristiwa pidana. Bagi hakim,
dalam mengadili suatu perkara yang paling diutamakan adalah fakta atas
peristiwa pidana yang terjadi. Melalui hukum, hakim berperan sebagai penentu
siapa yang benar dan yang siapa yang harus bertanggung jawab.
Pengadilan
diotorisasi oleh tata hukum untuk memutuskan kasus dalam diskresinya sendiri,
untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk menerima atau menolak
tuntutan, untuk memerintahkan atau menolak memerintahkan suatu sanksi kepada
terdakwa atau tergugat[9].
Kebebasan dimiliki oleh hakim untuk tidak hanya menemukan hukum namun juga
menciptakan.
Selanjutnya, dalam
perkara ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan
Malinau yang alasan-alasannya telah di uraikan di atas. Ada dua poin pokok
alasan Kasasi Jaksa Penuntut Umum yang dapat disimpulkan. Pertama ialah bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau yang
menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana hanya
mementingkan kepentingan Terdakwa dan mengenyampingkan fakta-fakta persidangan.
Kedua ialah mengenai Majelis Hakim
telah mengenyampingkan yurisprudensi Mahkamah Agung. Atas kedua alasan
tersebut, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Malinau telah salah menerapkan hukum.
Fakta fakta hukum
yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum dalam kasasi merupakan pengulangan fakta di
dalam persidangan Pengadilan Negeri Malinau. Atas alasan kasasi yang sering
dikemukakan pemohon ialah “pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan
kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang[10].
Menyangkut Yurisprudensi No. 1403.K/Pid/1987 dan No. 205 K/Kr/1980 yang dikutip
oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada intinya menyebutkan bahwa adanya kesalahan/kelalaian
korban tidaklah berarti menghapuskan kesalahan Terdakwa. Sebelumnya di dalam
pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Malinau (pada halaman 34) sudah mengutip
Yurisprudensi No. 1104.K/Pid/1990 “Ternyata kendaraan yang dikenderai oleh
Terdakwa berada di jalurnya yang benar sehingga tidak terbukti adanya unsur
kelalaian/kealpaan pada diri Terdakwa”. Atas hal ini akan diuraikan lebih
lanjut bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung.
Selain itu Jaksa
Penuntut umum mengemukakan alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara.
Yakni bahwa Putusan Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan
Terdakwa saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan
Terdakwa yang merusak kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap
Terdakwa tersebut dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan
dan tidak menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara
keluarga korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan
timbul gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.
Alasan seperti ini sering
dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang
dari apa yang menjadi pokok persoalan. Keberatan kasasi yang seperti ini
dianggap irrelevant, karena berada di
luar jangkuan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok
yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan[11].
Selain di luar konteks hukum, sebenarnya Jaksa Penuntut Umum terlalu berlebihan
menjadikan hal tersebut sebagai alasan di dalam kasasi.
Bukankah telah
perdamaian terjadi antara pihak Korban dan
Terdakwa? Hal ini dapat dilihat dalam halaman 37 Putusan Pengadilan
Negeri Malinau “bahwa meskipun unsur kelalaian tidak ditemukan dalam perbuatan
terdakwa, namun terdakwa dan keluarganya telah melakukan itikat baik perdamaian
dan bersedia memberikan uang duka kepada pihak keluarga korban sebesar
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan uang pemakaman sebesar
Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), uang sebesar Rp.70.000.000,- (tuju
puluh juta rupiah) yang dibayar secara bertahap selama 4 (empat) bulan, bantuan
200 sak semen serta bantuan lainnya sebagaimana tertuang dalam surat penyataan
perdamaian yang terlampir dalam berkas perkara ini.”
Analisa
Putusan Mahkamah Agung
1.Tentang Pertimbangan Hukum
Mengenai
pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara ini, menurut penulis sudah
tepat. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa Terdakwa tidak dapat kesalahannya
yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pertimbangan
Mahkamah Agung ini memperkuat pertimbangan Pengadilan Negeri Malinau. Bahwa
kelalaian/kekurang hati-hatian terdapat dalam diri Korban. Mahkamah
Agung memberikan penguatan bahwa kesalahan dari korban dapat dijadikan sebagai
alasan pemaaf.
Dalam perkara ini,
kita dapat melihat kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Kebebasan yang dimiliki seorang hakim untuk mengarahkan tindakannya sesuai
dengan kehendaknnya dapat berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan.
Dalam arti, seorang hakim dapat bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum
atau norma atau aturan yang dijadikan pegangan organisasi bersama oleh para
hakim atau oleh organisasinya[12].
Hakim juga kembali kepada asas tiada pidana tanpa kesalahan (oen straff zonder
schuld).
Mengenai pertimbangan bebas murni dan tidak
murni sudah tidak relevan lagi untuk dibahas. Karena berdasarkann Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 28 maret 2013, Mahkamah
Konstitusi membatalkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang intinya bahwa setiap putusan bebas
dapat diajukan kasasi[13].
Berdasarkan uraian-uraian tersebut telah sesuai dengan kewenangan Mahkamah
Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaran peradilan pada semua
badan peradilan yang berada dibawahnya dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman[14].
2.Tentang Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan, Mahkamah Agung dapat memperkuat putusan pengadilan yang
berada dibawahnya, dalam perkara ini adalah Putusan Negeri Malinau. Yang amar
putusannya ialah membebaskan Terdakwa karena tidak terdapatnya kesalahan/kelalaian
pada diri Terdakwa. Mahkamah Agung telah memberikan putusan sesuai
teori/doktrin alasan pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun
unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala
tuntutan hukum.
Meskipun di dalam
peraturan perundang-undangan tidak mengenal/di atur bahwa kesalahan/kelalaian
korban bukanlah sebagai alasan pemaaf. Namun Pengadilan Negeri maupun Mahkamah
Agung mengesampingkan ketentuan hukum. Kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya
merupakan kaidah-kaidah yang sah (mempunyai validity), tetapi juga harus
merupakan kaidah-kaidah yang adil (harus mempunyai value)[15].
Bahwa Tujuan hukum yang terpenting adalah untuk mencapai keadilan di dalam
masyarakat. Aparat penegak hukum sering begitu saja larut dalam rimba logika
aturan yang serba formal legalistik tanpa tergugah melakukanh refleksi mengenai
aturan yang dihadapinya.
Namun dalam putusan
ini, penulis melihat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung sudah berani
keluar dari pakem peraturan perundang-undangan yang kaku. Dalam ungkapan Prof
Satjipto Rahardjo aparat penegak hukum perlu memiliki kemampuan membaca kaidah,
bukan membaca peraturan. Kaidah itu adalah makna spritual, roh. Sedangkan
peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membca
undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai disitu saja bisa
membawa malapetaka[16].
Putusan Mahkamah
Agung ini juga diperkuat oleh ilmu pengetahuan/doktrin serta asas. Alasan
pemaaf sesuai doktrin menyebutkan unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur
kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala
tuntutan hukum. Artinya bahwa kesalahan/kelalaian ada pada diri Korban. Bahwa
tiada pidana tanpa kesalahan. Sehingga Terdakwa harus dibebaskan.
Sikap
dan Pandangan Penulis
Dalam
putusan ini, terdapat permasalahan hukum yang menarik yaitu pengajuan kasasi
oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atas dasar kelalaian kobran.
Meskipun secara normatif di dalam peraturan perundang-undangan tidat
mengenal/tidak diatur alasan pemaaf karena kesalahan/kelalaian korban. Namun
didalam doktrin hal tersebut merupakan sebagai salah satu alasan pemaaf.
Melalui yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa kesalahan pihak lain (korban) tidak
menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tetapi Pengadilan Negeri Malinau dan Mahkamah
Agung telah melakukan terobosan hukum dengan mengesampingkan Yurisprudensi,
bahwa kelalaian/kesalahan korban dijadikan sebagai alasan pemaaf untuk
membebaskan Terdakwa.
Tugas hakim didalam memeriksa dan
memutus perkara selain praktis tetapi juga ilmiah. Atas kedua hal tersebut
menyebabkan hakim harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk
menguatkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebagai dasar putusannya. Dalam
menciptakan hukum yang ideal, hakim harus memiliki keberanian untuk mengadili
perkara agar mendapatkan keputsan yang seadil-adilnya serta tentu saja haruslah
ditopang oleh ilmu pengetahuan hukum.
Sebagai
penutup penulis mengutip Cardozo, seorang hakim dari Amerika
“The law which is the resulting product is not found but made. The
process in its highest reaches in not discovery, but creation”.
[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Sofmedia, 2012), Hlm.
142
[2] E.Y. Kanter Sianturi dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dalam Penerapannya, (Jakarta:
Storia Grafika, 2002), Hlm. 194
[3] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), Hlm.
336-337
[5] Schaffmeister, N. Keijzer, PH Sutorius., Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 54. -catatan : Di dalam buku, kutipan berbentuk
skema/tabel.
[7] H.M. Hamdan, Alasan Penghapusan
Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung : PT Refika Aditama, 2012), Hlm.
99
[8] Untuk melihat Putusan Pengadilan Negeri Malinau secara utuh dan lengkap
dapat membuka https://www.google.com/url?q=http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/eb7c45f1d0398ca049447766bc03cda7/pdf&sa=U&ei=4ML6Uva6IKGI2AWvhYCwBg&ved=0CAUQFjAA&client=internal-uds-cse&usg=AFQjCNHfj1l_JHmP_Nrv922mO3CGb1kVqw
[9] Jimly Asshiddiqie dan M.
Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum. (Jakarta: Konstitusi Press, 2012),Hlm. 118
[10] M.Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,
dan Peninjauan Kembali). (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 569
[11] M.Yahya Harahap, Ibid. Hlm. 570
[12] Antonius Sudirman, Hati Nurani
Hakim dan Putusannya. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 42
[13] Lebih lanjut dapat
dilihat Klinik Hukum http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt526dcda563378/bebas-murni-atau-tidak-murni-sudah-tak-relevan
[14] Pasal 32 ayat 1
Undang-Undang No 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
[15] Soenarti Hartono, Apakah The
Rule of Law Itu? (Bandung : Alumni, 1976), Hlm. 114
[16] Benard L. Tanya, Yoan N.
Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum
(Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010). Hlm.62-63
*Tulisan ini bertujuan untuk mengubah persepsi apabila terjadi kecelakaan antara "kendaraan besar" dengan "kendaraan kecil"maka yang salah adalah adalah kendaraan yang lebih besar.