24
Senin,
Desember

Legalisasi Korupsi Birokrasi



Adanya perubahan nilai yang terjadi di masyarakat mengenai korupsi bukanlah hal yang mengada-ada. Perilaku korupsi yang terjadi secara terus menerus berhasil membentuk sebuah pembenaran bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah korupsi. Contoh sederhana adalah ketika mengurus KTP, SIM, atau surat-surat  penting lainnya, maka masyarakat cenderung memberikan uang pelicin. Alasannya cukup klasik, yakni karena pasrah dengan keadaan setelah menghadapi kenyataan dokumen-dokumen tersebut tidak keluar padahal sudah mengikuti seluruh prosedur. Hal ini dapat terjadi karena pameo yang cukup populer di kalangan birokrat adalah  “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?” Sehingga mau/tidak mau, suka/tidak suka, masyarakat harus mengikuti prosedur tambahan. Jika tidak ingin terjebak dalam proses birokrasi yang berbelit-belit, masyarakat sudah paham bagaimana cara mengatasinya.
            Pun, barangkali hanya terjadi di Indonesia, sudah korupsi malah dapat promosi. Seorang yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi bisa mendapat promosi jabatan setelah dia keluar penjara. Hal inilah yang dialami oleh Azirwan, mantan Sekretaris Daerah  Kabupaten Bintan yang terbukti menyuap anggota DPR, Al-Amin Nasution, kini malah naik pangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi Kepulauan Riau[1].
Layaknya sinetron kejar tayang yang tak berkesudahan, begitu juga kasus-kasus korupsi. Kasus terakhir yang begitu menyita perhatian masyarakat tidak terkecuali Presiden ialah kasus simulator SIM. Kasus yang menyulut perseteruan  antar dua lembaga penegak hukum. Cicak melawan buaya season dua, tetapi dengan pemeran serta kisah yang berbeda.
Suguhan kasus demi  kasus berdampak terhadap pandangan masyarakat. Tidak sedikit yang memandang korupsi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari birokrasi, atau yang lebih parah lagi ialah orang-orang yang memandang korupsi merupakan gaya hidup para birokrat. Tanggapan bagi seseorang yang terjerat kasus korupsi adalah bahwa pelaku hanya terkena sial. Para birokrat-birokrat hanya menunggu waktu mendapat giliran. Demikian juga dengan sikap para pelaku korupsi, mereka tanpa beban moral tampil dihadapan publik tak ubahnya seperti artis dadakan yang tiba-tiba naik daun.
Perilaku-perilaku korupsi terjadi disegala lini. Mulai birokrat rendah sampai birokrat tinggi. Suguhan kebiasaan ini mengakibatkan akumulasi, sehingga masyarakat memandang perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang legal.

Sebab-Sebab Korupsi Birokrasi
Menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipahami bahwa yang namanya sebuah kejahatan tidak akan pernah berakhir dimuka bumi. Yang pasti, angka-angka kejahatan hanya dapat diminimalisir. Sebagaimana hasil penelitian Thomas Moore, selama 25 tahun ada 72.000 pencuri yang digantung di daerah dengan jumlah penduduk tiga sampai empat juta orang saja, tetapi kejahatan terus saja merajalela. Menurut moore, dengan kekerasan saja tidak akan membendung kejahatan. Untuk memberantas kejahatan, harus dicari sebabnya dan menghapuskannya[2]. Sama halnya dengan korupsi, untuk dapat mengurangi angkanya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab. Adapun penyebab-penyebab korupsi diantaranya :
1.       Kebudayaan atau Kultur
Perilaku para birokrat kita adalah bagaimana cara untuk mempersulit proses birokrasi. Karena tidak ingin dipersulit maka masyarakat memilih untuk memberi uang pelicin, itu baru dikalangan birokrat rendahan. Bagaimana dengan kalangan birokrat tinggi? Sama saja, sebagai bukti adalah bagaimana para birokrat tinggi menjadikan program-program pembangunan sebagai  lahan korupsi. Yang dijadikan sebagai sapi perahan tentu saja para pengusaha-pengusaha. Di daerah pengusaha dijadikan objek pemerasan, dan didepan hukum para pengusaha sering dipersalahkan dan dituduh menyuap[3].
Soedarso didalam bukunya menyebut dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila miliu itu ditinjau lebih lanjut, yang perlu diselidiki tentunya bukan miliu orang satu persatu, melainkan yang secara umum meliputi, dirasakan dan memengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian, mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelurkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-diam di-tolereer, bukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat sendiri. Kalau masyarakat umum mempunyai semangat antikorupsi seperti mahasiswa pada waktu melakukan demonstarasi antikorupsi, maka korupsi sungguh-sungguh tidak dikenal[4].
Menjadi sebuah catatan dari pendapat Soedarso di atas adalah “seperti mahasiswa pada melakukan demonstrasi antri korupsi”.  Dapat ditarik sebuah hipotesis, bahwa diluar demonstrasi mahasiswa juga sebenarnya melakukan korupsi. Argumen ini di dasari atas pengertian  korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari kata berbahasa latin, yakni corruptio atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere. Kemudian turun ke bahasa-bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; dan Belanda yakni corruptie[5]. Secara harfiah, kata korupsi memiliki arti kebusukan, keburukan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Jadi, korupsi sebenarnya tidak hanya menyangkut persoalan keuangan  negara atau perekonomian negara, namun sangat luas. Perbuatan-perbuatan seperti membayar orang lain untuk mengerjakan tugas, membayar petugas adminstrasi, atau bahkan yang lebih parah lagi adalah membayar sang dosen untuk mendapatkan nilai yang bagus. Cerita mengenai penempaan tugas akhir atau skripsi merupakan kisah yang tidak akan pernah berakhir. Keseluruhan perbuatan tersebut termasuk ke dalam perbuatan korupsi!
Sebuah realita bagaiman korupsi sudah dilegalkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Bahkan legalisasi korupsi itu sendiri dilakukan oleh agent of social change, agent of social control (mahasiswa).
2.      Manajemen yang kurang Efektif dan Efisien
Salah satu yang menjadi penyebab korupsi ialah, lemahnya sistem manjemen yang kurang efektif dan efesien, sehingga kontrol terhadap birokrasi menjadi lemah. Hal inilah yang menyebabkan para birokrat dapat bertindak sesuai kehendak masing-masing. Tidak jarang, para birokrat melangggar aturan karena sistem manajemen tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3.      Rendahnya Gaji
Rendahnya gaji merupakan permasalahan klasik penyebab terjadinya korupsi. Wertheim mengemukakan, kurangnya gaji dan pemotongan gaji yang banyak merupakan penyebab korupsi pada pegawai VOC dahulu kala[6].
Penyakit korupsi inilah yang mengakibatkan usaha dagang Hindia Belanda tersebut harus gulung tikar. Kebutuhan yang terus meningkat serta tidak selarasnya dengan kenaikan gaji mengakibatkan seorang birokrat untuk melakukan perbuatan korupsi.
Tetapi rendahnya gaji tidak melulu menjadi jaminan seseorang menjadi pelaku korupsi. Dari sekian banyak pelaku korupsi saat ini, tidak sedikit yang memiliki gaji yang lumayan besar serta duduk di jabatan strategis. Tak pelak hal ini menimbulkan asumsi bahwa permasalahan gaji yang rendah  bukan lagi menjadi faktor utama seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi.
4.   Rendahnya Moral
Dapatlah dikatakan bahwa para pelaku korupsi memiliki moral yang rendah. Mereka menggadaikan idealisme serta melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam agama, budaya, serta nilai yang ada didalam masyarakat. Yang menjadi prioritas adalah bagaimana dapat menjadikan diri sebagai orang yang terhormat, memiliki jaringan yang luas, serta harta yang berlimpah dengan jalan korupsi. Tidak ada lagi bedanya, dimana pendapatan halal dan haram. Semua telah dicampur adukkan dalam satu, mungkin saja ini bertujuan untuk “mengelabui” Tuhan dan masyarakat bahwa uang yang didapat adalah uang murni hasil keringat sendiri. Memang benar uang yang dicari dengan keringat sendiri, tapi dengan cara korupsi!

Dampak Korupsi
Begitu banyak dan luas dampak  yang disebabkan oleh perbuatan korupsi. Diantaranya adalah daya saing Indonesia tahun ini merosot akibat beberapa masalah mendasar, seperti kasus korupsi dan penyuapan. Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) soal daya saing global tahun 2012-2013 mengungkapkan posisi Indonesia yang turun empat peringkat menjadi ke-50 dibanding tahun lalu. WEF juga menggarisbawahi masalah perilaku tidak etis sektor swasta, hambatan birokrasi, minimnya belanja pemerintah, serta infrastruktur yang belum berkembang[7].
Dampak lain korupsi ialah, kehancuran birokrasi itu sendiri. Birokrasi merupakan garda terdepan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh de dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum: yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri[8].
Dalam melaksanakan tugasnya seringkali birokrasi sebagai pemegang kekuasaan berpotensi untuk menyalahgunakan kewenangannya untuk melayani kepentingan diri sendiri. Birokrasi semacam itu boleh jadi memang melayani masyarakat, namun ia juga dapat menggunakan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan bagi para pengelolanya. Setelah birokrasi hancur maka rentetan dampak korupsi lainnya adalah meningkatnya angka kriminalitas serta pengangguran. Mengutip Sun Yan Set yang menyatakan bahwa dampak korupsi ialah menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial, dan keterasingan politik. Dapatlah juga dikatakan bahwa perbuatan korupsi merupakan bentuk penistaan terhadap tujuan negara.

Reformasi Birokrasi
Begitu banyak teori yang membahas cara-cara serta bagaimana reformasi birokrasi dapat terwujud. Namun, yang sedikit terlupakan adalah bagaimana sumber daya manusia dari birokrasi itu sendirilah yang seharusnya memiliki sikap anti korupsi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan birokrasi yang baik. Birokrasi yang baik adalah birokrasi yang mampu melayani masyarakat secara jujur, bersih, cepat dan tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan. Birokrasi semacam itu dapat disebut memiliki integritas yang tinggi, yakni berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip moral tidak tergoda untuk melakukan korupsi[9]. Reformasi birokrasi dengan mengusung tema anti korupsi, inilah yang harus digalakkan.
Selain itu, yang harus dilakukan adalah meletakkan  para pejabat puncak pada tiap unit birokrasi  dari kalangan yang “bersih” dan “berani”. Bersih artinya bermoral, punya track record (rekam jejak) tak pernah korup, dan tak punya masalah dengan hukum. Berani artinya punya nyali untuk bertindak terhadap siapapun guna mendobrak kejumudan birokrasi[10]. Bersih dan berani merupakan persyaratan kumulatif  yang wajib pertama sekali dimiliki para birokrat, kemudian menyusul syarat-syarat lainnya. Sehingga apabila hal diatas diterapkan, apa yang disebut dengan birokrasi yang baik akan dapat terwujud.

Sikap Anti Korupsi
Respons inkonsistensi masyarakat terhadap pelaku korupsi sangat terlihat jelas. Dari sekian banyak pelaku korupsi, kita tidak pernah sekalipun mendengar pelaku korupsi dihakimi massa seperti yang terjadi kepada pelaku kejahatan lainnya. Bukan berarti penulis menyarankan agar pelaku korupsi diadili secara jalanan, tidak. Tapi dari realita yang tampak oleh mata, bahwa pelaku korupsi mendapati sebuah respons yang berbeda dari pelaku tindak pidana lainnya.
Sering kita mendengar berita, seorang terpidana pelaku korupsi (terutama mantan kepala daerah) yang baru saja keluar dari tahanan kemudian diarak mengelilingi kota layaknya seorang pahlawan perang yang baru saja tiba dari medan peperangan. Normalnya, keputusan hukum dan keputusan moral haruslah sejalan. Namun fakta membuktikan hal yang sebaliknya! Bahkan masyarakat tampak enggan untuk memberikan sanksi sosial untuk pelaku korupsi. Korupsi dapat terjadi bukan terjadi hanya niat serta kesempatan. Tetapi juga karena adanya dukungan dari lingkungan dan masyarakat. Sebagaimana yang disebutkan oleh William J. Chambliss bahwa korupsi merupakan produk konstruksi sosial.
Tidak hanya menjadi tanggung jawab para birokrat, namun juga seluruh komponen-elemen masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang kian memburuk. Karena masyarakat juga secara tidak sadar sesungguhnya terlibat dalam lingkaran korupsi itu sendiri. Korupsi merupakan penyakit yang dapat menjangkiti siapa saja tanpa pandang bulu. Lalu, bagaimana dengan mengobati yang sudah terjangkiti? Yang pasti setiap penyakit selalu memiliki penawar. Untuk penawar penyakit korupsi adalah bagaimana memberi sanksi yang tegas sehingga menimbulkan efek jera atau sekalian saja me-legalisai korupsi birokrasi. Jadi, pungutan-pungatan liar dijadikan pendapatan resmi atau legal.
Seperti pameo kesehatan yang populer, lebih baik mencegah daripada mengobati. Selanjutnya untuk mencegah penyakit korupsi, penanaman nilai-nilai anti korupsi melalui pendidikan masyarakat (public education) tampaknya akan sangat berperan untuk memutus mata rantai korupsi. Pilihan berada ditangan kita, apakah tetap terjebak dalam keadaan korupsi yang semakin merajalela sehingga negeri ini akan runtuh secara perlahan atau memperbaiki keadaan dengan jalan melaksanakan sikap anti korupsi. Revolusi yang diperlukan bangsa ini adalah revolusi mental, moral dan cara pandang terhadap korupsi.
Pertanyaannya adalah, apakah kita dapat secara konsisten melaksanakan sikap anti korupsi? Jika tidak, melihat kondisi yang ada sekarang, tidak berlebihan apabila penulis mengatakan : Malaikat-pun apabila didudukkan dalam birokrasi negeri ini, akan melakukan korupsi.

*Tulisan telah diikutsertakan dalam Pekan Raya Justisia Fair Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan mendapat peringkat 5



[2] W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan R.A. Koesnon, Jakarta : PT Pembangunan, 1955, hlm. 46
[3] http://www.antaranews.com/berita/politisi/pengusaha-sering-diperas-di-daerah.html
[4] B. Soedarso, Korupsi di Indonesia, Jakarta : Bharata Karya Aksara, 1969, hlm. 14.
[5] Kamus Hukum, Fockema Andrea. Bandung : Bina Cipta. 1983.
[6] W.F. Wertheim, Segi-segi Sosiologi Korupsi di Asia Tenggara, dalam Mochtar lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Karangan-Karangan Etika Mengenai Pegawai Negeri, Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977. hlm. 22.
[7] Sumber : Koran Tempo, 6 September 2012
[8] http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html
[10] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, dalam artikel kompas, 11 Oktober 2005.

Negeri Impian Bernama Indonesia



Syahdan, tersebutlah sebuah negeri

Negeri bernama Indonesia

Negeri panjang riwayatnya

Negeri dihimpun rasa bersama

Negeri diapit dua benua-samudera

Negeri bertanah kekayaan bumi

Negeri hutan perawan menyelimuti

Negeri gunung berantai

Negeri pulau tak berbilang

Negeri pantai tiada tanding

Negeri seribu danau
Negeri ramah-tamah

Negeri ragam warna

Negeri beda ialah niscaya

Negeri impian...

Negeri impian...

Negeri impian...

Syahdan, tersebutlah sebuah negeri

Negeri bernama Indonesia...
01
Kamis,
November

Hentikan Diskriminasi Suku, Agama, Ras dan Antarfakultas



Beberapa waktu yang lalu penulis mengikuti sebuah event berskala nasional di Jakarta yang tentu saja diikuti oleh universitas-universitas ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro  dan universitas ternama lainnya. Sewaktu panitia mengumumkan nama Universitas Sumatera Utara, mimik wajah para hadirin menunjukkan tidak mengetahui Universitas Sumatera Utara, sehingga salah satu peserta menyeletuk “itu kemaren yang universitasnya bentrok kan?”
Celetukan ini langsung memicu gelak tawa seluruh hadirin tidak terkecuali panitia. Mungkin hal tersebut lucu bagi orang lain, tetapi sangat menyakitkan bagi kita, mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Kita dikenal di kancah nasional dalam predikat yang kurang baik, bukan dikenal dalam prestasi yang membanggakan.
Ketika kita berada di lingkungan Universitas yang dipisahkan oleh sekat fakultas dikarenakan program studi yang berbeda, maka sedikit banyaknya mempengaruhi perbedaan pola, tingkah laku serta sikap mahasiswa antar fakultas yang tidak jarang menimbulkan benturan serta kecemburuan akademis antar mahasiswa. Mahasiswa yang satu merasa program studi dan fakultasnya yang lebih hebat, dan mahasiswa yang lain juga merasa bahwa program studi dan fakultasnya-lah yang lebih hebat dibandingkan program studi dan fakultas lainnya. Penyebab mengapa perasaan tersebut mengendap dalam jiwa mahasiswa mungkin dikarenakan kesombongan akademis yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga sulit untuk memutus mata rantainya. Kesombongan akademis yang telah tertanam. Bahkan mungkin telah sampai terbawa ke alam bawah sadar para mahasiswa. Kesombongan yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Malapetaka kesombongan tersebut terbukti membuahkan hasil, yakni terjadinya bentrokan yang menelan korban, tidak hanya dari fakultas yang bersangkutan namun seluruh warga Universitas Sumatera Utara.

Perbedaan Merupakan Keniscayaan
            Tidak ada perbedaan yang tidak menimbulkan pergolakan bahkan benturan. Namun, ketika perbedaan tersebut kita pandang dari sisi yang berlainan, yakni perbedaan dipandang sebagai sebuah keniscayaan. Maka sudah seharusnya perbedaan yang kita miliki dijadikan sebagai dasar kita untuk membanggakan dan mengharumkan almamater yang kita cintai bersama ini. Sehingga nantinya, mahasiswa dan ahli-ahli ilmu tidak hanya dimonopoli oleh universitas-universitas tertentu saja, tetapi juga  berasal dari lingkungan Universitas Sumatera Utara. Kita tidak boleh terjebak lagi dalam hal-hal yang dapat menyebabkan citra Universitas Sumatera  Utara buruk. Kita semua memiliki tanggung jawab dan amanah dipundak masing-masing sesuai dengan keilmuan yang digeluti, untuk menjadikan Universitas Sumatera Utara dapat disejajarkan dan masuk sebagai salah satu Universitas ternama sebagaimana universitas ternama lainnya, yang sudah tentu memiliki kualitas yang tidak perlu diragukan. Jadilah kita ahli dalam program studi yang sedang kita jalani, tentu saja dengan menanggalkan pakaian kesombongan akademis terlebih dahulu, yang tidak ubah layaknya mahasiswa yang bergaya anak sekolah menengah atas. Semoga ini bukan harapan kosong penulis, tetapi merupakan harapan yang harus diwujudkan oleh kita bersama. Tidak akan terjadi apapun tanpa didahului sebuah harapan dan impian!

Kesatuan Universitas Sumatera Utara
            Kesatuan yang kita miliki seharusnya bukanlah hanya kesatuan berdasarkan di bawah bendera Universitas Sumatera Utara. Namun juga, kesatuan yang didasarkan pada kehendak jiwa atau sikap bathin seluruh mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Merupakan suatu kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk memproporsionalkan dan memaksimalkan peran serta kapasitas kita dalam membangun dan mengharumkan nama Universitas Sumatera Utara, baik dalam kancah Nasional maupun Internasional. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam kegiatan maupun hal-hal yang dapat menyebabkan preseden buruk terhadap Universitas Sumatera Utara. Marilah kita jadikan peristiwa saraf tersebut sebagai perisitwa terakhir serta juga bahan renungan kita bersama, bahwa sudah sejauh mana kita, sebagai mahasiswa ikut berkontribusi aktif untuk memajukan serta mengharumkan nama almamater kita. Peristiwa tersebut kita jadikan sebagai titik balik kita untuk mengubah sikap, pola dan tingkah laku sehingga dapat memajukan serta mengharumkan Universitas Sumatera Utara.

*Tulisan telah dimuat dalam SUARA USU edisi 85, Desember 2012



Saat Siswa Bertopeng Mahasiswa


ilustrasi : Viki Aprilita


Marilah sejenak kita masuki  ranah kehidupan mahasiswa. Tentu saja dalam konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Harus diakui jadwal kuliah yang padat dan tugas yang menumpuk menjadi salah satu faktor penyebab mahasiswa lupa pada fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian dan pengabdian. Terutama fungsi penelitian dan pengabdian.
            Urgensi terlupakan ketika kita terbelenggu kegiatan sehari-hari yang monoton, seperti hadir kuliah. Setelah kuliah berakhir, maka kita pun pulang ke peraduan masing-masing. Kita terjebak oleh labirin yang memaksa kita atas hal tersebut. Ironisnya, sebagian mahasiswa sudah terbiasa, bahkan tidak sedikit yang menikmati. Inilah penyebab timbulnya guyonan yang beredar di kalangan mahasiswa, yakni ‘kampus, pajus, kos dan kadang perpus’ begitu seterusnya yang akhirnnya membentuk kebiasaan.
            Mungkin kita akan tersenyum kecut jika termasuk dalam kelompok tersebut. Namun bila kita kaji lebih dalam guyonan tersebut, sesungguhnya terdapat sindiran di dalamnya. Guyonan ‘kampus, pajus, kos dan kadang perpus’ seharusnya membuka mata kita bahwa selama ini aktivitas yang kita lakukan sama saja dengan kegiatan yang kita lakukan sewaktu sekolah menengah atas dulu.
            Ketika mahasiswa merupakan pilihan kita sebagai jalan dalam menapaki dan mempersiapkan bekal untuk perjalan panjang, seharusnya kita tidak hanya berorientasi pada mendapatkan pengetahuan melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Tetapi juga melalui proses penelitian dan pengabdian.

Penelitian
Alasan utama mengapa mahasiswa tidak mengikuti program penelitian adalah karena minimnya informasi. Alasan ini mendapat porsi  44 persen dari keseluruhan responden karena sosialisasi pihak rektorat maupun dekanat sangatlah minim (SUARA USU, edisi 78). Pertanyaan terbesar dari fakta yang telah dipaparkan SUARA USU edisi 78 tersebut adalah, apakah kita sebagai mahasiswa sudah aktif  “menjemput bola” pada informasi-informasi yang sedemikian urgennya?
            Tidak perlu menunggu. Tidak salah jika kita  agresif untuk mencari informasi tanpa harus menunggu aba-aba dari pihak rektorat maupun dekanat. Di lain sisi, apabila kemampuan kita pasif untuk menjemput informasi, kita semestinya membangun koordinasi yang intim antara kita sebagai mahasiswa dan pihak rektorat maupun dekanat.
Jika dalam menjemput informasi saja kita sudah enggan, maka tidak dapat dipungkiri untuk melakukan kegiatan penelitian kita sesungguhnya tidak berminat sama sekali.

Pengabdian
            Mahasiswa yang digaung-gaungkan sebagai agent of social change kini sepak terjangya sudah tidak tampak. Kegiatan-kegiatan pengabdian terhadap masyarakat maupun negara yang diadakan oleh mahasiswa sangat jarang bahkan tidak terdengar lagi, mulai dari pengabdian yang elegan seperti kegiatan sosial sampai kegiatan pengabdian yang cukup ekstrim seperti  turun ke jalan. Tidak adanya keharusan untuk melakukan kegiatan tersebut membuat hal itu seolah-olah bukan merupakan bagian dari kehidupan mahasiswa.
            Kita lebih memilih menutup mata mengenai isu-isu dan realita yang terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melihat hal yang  demikian, semoga penamaan agent of social change masih pantas untuk disandang oleh mahasiswa pada saat ini. Namun, kita juga harus cerdas melihat rambu dan batas kewenangan kita di dalam melakukan kegiatan pengabdian masyarakat maupun negara. Sehingga nilai-nilai yang terkandung  dalam aktualisasi pengabdian tersebut tidak dimotivasi kepentingan tertentu, maupun terdapat penyimpangan yang bertentangan dengan tujuan pengabdian sebagaiman mestinya.

Keluar dari kebiasaan
      Merupakan suatu kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk memproporsionalkan dan memaksimalkan peran serta kapasitas kita dalam fungsi tridharma, terutama fungsi penelitian dan pengabdian. Belum efektifnya fungsi penelitian dan pengabdian berimpilkasi pada setiap pribadi dari kita harus bercermin, apakah kita sudah pantas menyandang status sebagai mahasiswa. Apabila kita telah menyadari kekeliruan atas hal tersebut, sewajarnya kita harus berubah.
            Faktor subjektif dan objektif penelitian dan pengabdian yang terlupakan harus benar-benar mendapat perhatian dan diperhitungkan, sebab setiap segi dari fungsi tridarma merupakan indikator dari ketiga fungsi yang saling terkait. Mahasiswa merupakan representasi kelompok masyarakat yang terdidik. Tidak setiap orang memiliki kesempatan menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apapun yang kita lakukan harus berpijak pada unsur ilmiah dan menjadi ujung tombak andalan sebagai agen perubahan sosial. Jika tidak, maka tidaklah berlebihan ketika suatu saat kita dicap sebagai siswa yang bertopeng sebagai mahasiswa.*

*Tulisan ini telah dimuat dalam SUARA USU edisi 79, Desember 2010.