Hentikan Diskriminasi Suku, Agama, Ras dan Antarfakultas



Beberapa waktu yang lalu penulis mengikuti sebuah event berskala nasional di Jakarta yang tentu saja diikuti oleh universitas-universitas ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro  dan universitas ternama lainnya. Sewaktu panitia mengumumkan nama Universitas Sumatera Utara, mimik wajah para hadirin menunjukkan tidak mengetahui Universitas Sumatera Utara, sehingga salah satu peserta menyeletuk “itu kemaren yang universitasnya bentrok kan?”
Celetukan ini langsung memicu gelak tawa seluruh hadirin tidak terkecuali panitia. Mungkin hal tersebut lucu bagi orang lain, tetapi sangat menyakitkan bagi kita, mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Kita dikenal di kancah nasional dalam predikat yang kurang baik, bukan dikenal dalam prestasi yang membanggakan.
Ketika kita berada di lingkungan Universitas yang dipisahkan oleh sekat fakultas dikarenakan program studi yang berbeda, maka sedikit banyaknya mempengaruhi perbedaan pola, tingkah laku serta sikap mahasiswa antar fakultas yang tidak jarang menimbulkan benturan serta kecemburuan akademis antar mahasiswa. Mahasiswa yang satu merasa program studi dan fakultasnya yang lebih hebat, dan mahasiswa yang lain juga merasa bahwa program studi dan fakultasnya-lah yang lebih hebat dibandingkan program studi dan fakultas lainnya. Penyebab mengapa perasaan tersebut mengendap dalam jiwa mahasiswa mungkin dikarenakan kesombongan akademis yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga sulit untuk memutus mata rantainya. Kesombongan akademis yang telah tertanam. Bahkan mungkin telah sampai terbawa ke alam bawah sadar para mahasiswa. Kesombongan yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Malapetaka kesombongan tersebut terbukti membuahkan hasil, yakni terjadinya bentrokan yang menelan korban, tidak hanya dari fakultas yang bersangkutan namun seluruh warga Universitas Sumatera Utara.

Perbedaan Merupakan Keniscayaan
            Tidak ada perbedaan yang tidak menimbulkan pergolakan bahkan benturan. Namun, ketika perbedaan tersebut kita pandang dari sisi yang berlainan, yakni perbedaan dipandang sebagai sebuah keniscayaan. Maka sudah seharusnya perbedaan yang kita miliki dijadikan sebagai dasar kita untuk membanggakan dan mengharumkan almamater yang kita cintai bersama ini. Sehingga nantinya, mahasiswa dan ahli-ahli ilmu tidak hanya dimonopoli oleh universitas-universitas tertentu saja, tetapi juga  berasal dari lingkungan Universitas Sumatera Utara. Kita tidak boleh terjebak lagi dalam hal-hal yang dapat menyebabkan citra Universitas Sumatera  Utara buruk. Kita semua memiliki tanggung jawab dan amanah dipundak masing-masing sesuai dengan keilmuan yang digeluti, untuk menjadikan Universitas Sumatera Utara dapat disejajarkan dan masuk sebagai salah satu Universitas ternama sebagaimana universitas ternama lainnya, yang sudah tentu memiliki kualitas yang tidak perlu diragukan. Jadilah kita ahli dalam program studi yang sedang kita jalani, tentu saja dengan menanggalkan pakaian kesombongan akademis terlebih dahulu, yang tidak ubah layaknya mahasiswa yang bergaya anak sekolah menengah atas. Semoga ini bukan harapan kosong penulis, tetapi merupakan harapan yang harus diwujudkan oleh kita bersama. Tidak akan terjadi apapun tanpa didahului sebuah harapan dan impian!

Kesatuan Universitas Sumatera Utara
            Kesatuan yang kita miliki seharusnya bukanlah hanya kesatuan berdasarkan di bawah bendera Universitas Sumatera Utara. Namun juga, kesatuan yang didasarkan pada kehendak jiwa atau sikap bathin seluruh mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Merupakan suatu kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk memproporsionalkan dan memaksimalkan peran serta kapasitas kita dalam membangun dan mengharumkan nama Universitas Sumatera Utara, baik dalam kancah Nasional maupun Internasional. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam kegiatan maupun hal-hal yang dapat menyebabkan preseden buruk terhadap Universitas Sumatera Utara. Marilah kita jadikan peristiwa saraf tersebut sebagai perisitwa terakhir serta juga bahan renungan kita bersama, bahwa sudah sejauh mana kita, sebagai mahasiswa ikut berkontribusi aktif untuk memajukan serta mengharumkan nama almamater kita. Peristiwa tersebut kita jadikan sebagai titik balik kita untuk mengubah sikap, pola dan tingkah laku sehingga dapat memajukan serta mengharumkan Universitas Sumatera Utara.

*Tulisan telah dimuat dalam SUARA USU edisi 85, Desember 2012



Saat Siswa Bertopeng Mahasiswa


ilustrasi : Viki Aprilita


Marilah sejenak kita masuki  ranah kehidupan mahasiswa. Tentu saja dalam konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Harus diakui jadwal kuliah yang padat dan tugas yang menumpuk menjadi salah satu faktor penyebab mahasiswa lupa pada fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian dan pengabdian. Terutama fungsi penelitian dan pengabdian.
            Urgensi terlupakan ketika kita terbelenggu kegiatan sehari-hari yang monoton, seperti hadir kuliah. Setelah kuliah berakhir, maka kita pun pulang ke peraduan masing-masing. Kita terjebak oleh labirin yang memaksa kita atas hal tersebut. Ironisnya, sebagian mahasiswa sudah terbiasa, bahkan tidak sedikit yang menikmati. Inilah penyebab timbulnya guyonan yang beredar di kalangan mahasiswa, yakni ‘kampus, pajus, kos dan kadang perpus’ begitu seterusnya yang akhirnnya membentuk kebiasaan.
            Mungkin kita akan tersenyum kecut jika termasuk dalam kelompok tersebut. Namun bila kita kaji lebih dalam guyonan tersebut, sesungguhnya terdapat sindiran di dalamnya. Guyonan ‘kampus, pajus, kos dan kadang perpus’ seharusnya membuka mata kita bahwa selama ini aktivitas yang kita lakukan sama saja dengan kegiatan yang kita lakukan sewaktu sekolah menengah atas dulu.
            Ketika mahasiswa merupakan pilihan kita sebagai jalan dalam menapaki dan mempersiapkan bekal untuk perjalan panjang, seharusnya kita tidak hanya berorientasi pada mendapatkan pengetahuan melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Tetapi juga melalui proses penelitian dan pengabdian.

Penelitian
Alasan utama mengapa mahasiswa tidak mengikuti program penelitian adalah karena minimnya informasi. Alasan ini mendapat porsi  44 persen dari keseluruhan responden karena sosialisasi pihak rektorat maupun dekanat sangatlah minim (SUARA USU, edisi 78). Pertanyaan terbesar dari fakta yang telah dipaparkan SUARA USU edisi 78 tersebut adalah, apakah kita sebagai mahasiswa sudah aktif  “menjemput bola” pada informasi-informasi yang sedemikian urgennya?
            Tidak perlu menunggu. Tidak salah jika kita  agresif untuk mencari informasi tanpa harus menunggu aba-aba dari pihak rektorat maupun dekanat. Di lain sisi, apabila kemampuan kita pasif untuk menjemput informasi, kita semestinya membangun koordinasi yang intim antara kita sebagai mahasiswa dan pihak rektorat maupun dekanat.
Jika dalam menjemput informasi saja kita sudah enggan, maka tidak dapat dipungkiri untuk melakukan kegiatan penelitian kita sesungguhnya tidak berminat sama sekali.

Pengabdian
            Mahasiswa yang digaung-gaungkan sebagai agent of social change kini sepak terjangya sudah tidak tampak. Kegiatan-kegiatan pengabdian terhadap masyarakat maupun negara yang diadakan oleh mahasiswa sangat jarang bahkan tidak terdengar lagi, mulai dari pengabdian yang elegan seperti kegiatan sosial sampai kegiatan pengabdian yang cukup ekstrim seperti  turun ke jalan. Tidak adanya keharusan untuk melakukan kegiatan tersebut membuat hal itu seolah-olah bukan merupakan bagian dari kehidupan mahasiswa.
            Kita lebih memilih menutup mata mengenai isu-isu dan realita yang terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melihat hal yang  demikian, semoga penamaan agent of social change masih pantas untuk disandang oleh mahasiswa pada saat ini. Namun, kita juga harus cerdas melihat rambu dan batas kewenangan kita di dalam melakukan kegiatan pengabdian masyarakat maupun negara. Sehingga nilai-nilai yang terkandung  dalam aktualisasi pengabdian tersebut tidak dimotivasi kepentingan tertentu, maupun terdapat penyimpangan yang bertentangan dengan tujuan pengabdian sebagaiman mestinya.

Keluar dari kebiasaan
      Merupakan suatu kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk memproporsionalkan dan memaksimalkan peran serta kapasitas kita dalam fungsi tridharma, terutama fungsi penelitian dan pengabdian. Belum efektifnya fungsi penelitian dan pengabdian berimpilkasi pada setiap pribadi dari kita harus bercermin, apakah kita sudah pantas menyandang status sebagai mahasiswa. Apabila kita telah menyadari kekeliruan atas hal tersebut, sewajarnya kita harus berubah.
            Faktor subjektif dan objektif penelitian dan pengabdian yang terlupakan harus benar-benar mendapat perhatian dan diperhitungkan, sebab setiap segi dari fungsi tridarma merupakan indikator dari ketiga fungsi yang saling terkait. Mahasiswa merupakan representasi kelompok masyarakat yang terdidik. Tidak setiap orang memiliki kesempatan menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apapun yang kita lakukan harus berpijak pada unsur ilmiah dan menjadi ujung tombak andalan sebagai agen perubahan sosial. Jika tidak, maka tidaklah berlebihan ketika suatu saat kita dicap sebagai siswa yang bertopeng sebagai mahasiswa.*

*Tulisan ini telah dimuat dalam SUARA USU edisi 79, Desember 2010.