Meskipun isu LGBT ini dapat
dikatakan sudah basi, seperti isu-isu panas lainnya di negara ini yang berpola,
panas diawal kemudian ujungnya berakhir entah bagaimana gak jelas. Namun,
isu ini kembali mencuat, sebab-musababnya adalah artikel ini yang disebarkan
melalui Grup line Mushalla yang Saya tergabung di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, seorang Senior yang
telah mapan finansial tergerak untuk mengadakan sayembara dengan hadiah sejumlah
angpao uang satu juta rupiah bagi anggota grup yang dapat memberikan
tanggapan bantahan terhadap tulisan tersebut. Sebagai seorang yang suka duit
tantangan, Saya tidak akan melewatkan tawaran yang cukup menggiurkan tersebut. Saya
berkeyakinan bahwa angpao uang satu juta
rupiah hadiah sayembara tersebut merupakan jodoh yang tepat bagi dompet
saya yang sebenarnya cukup tebal berisikan struk atm dan faktur belanjaan
indomaret. Tak dinyana, untung tak dapat diraih. Saya tidak memenuhi
kualifikasi administrasi.
Saya harus mengikhlaskan
angpao uang satu juta rupiah sepertinya bukan jodoh yang tepat bagi dompet
Saya. Jodoh dompet saya mungkin angpao-angpao lain diluar sana. Seperti kredo,
Jodoh di tangan Tuhan yang berseragam pns pilihan utama calon mertua. Menyanggupi
tantangan tersebut, seorang Junior memberikan tanggapan yang tulisannya dapat
dibaca di sini. Selain suka duit
tantangan saya juga suka duit berkomentar, mulut tangan Saya
gatal untuk ikut berkontribusi memberikan pandangan awam mengenai hal
ini, meskipun tanpa iming-iming angpao.
Here you are…
Pertama Saya akan
menanggapi tulisan yang pertama
ini. Penulis tampaknya
sangat memahami konteks permasalahan mengenai LGBT yang diputus oleh Mahkamah
Agung Negeri Paman Sam yang nun jauh di sana. HAK SIPIL. Dalam hukum Indonesia
lebih mengenal istilah Hak Keperdataan, dimana Pernikahan merupakan termasuk
dalam salah satunya. Yang mana,
sebelum keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan diatur
dalam Buku I KUHPerdata warisan penjajah. Dengan tegas di dalam kedua
undang-undang tersebut, hanya diantara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang
dapat melakukan perkawinan.
Jika dikaitkan dengan isu LGBT, penulis meramal
bahwa “Yang jadi pertanyaan besar dari kejadian
di AS sana adalah, bagaimana dengan LGBT di Indonesia, bisakah mereka nantinya
juga legal untuk menikah? Hal inilah yang akan dibahas di sini. Pertama,
jawaban saya pribadi untuk pertanyaan di atas adalah: tentu saja tidak dalam waktu dekat. Bisa jadi
delapan dekade lagi. Tapi bisa saja. LGBT tentu
saja tidak dalam waktu dekat. Bisa jadi delapan dekade lagi. Tapi bisa saja.” Jangan terlalu
pesimis. Sebagai orang yang sedikit
mengerti hukum Saya akan memberitahukan khalayak pembaca sebuah
ilmu terkhusus buat
penulis. Ilmu kanuragan, yang mendapatkannya saja harus
bergurudosen dimana suasana sewaktu perkuliahan, jarum pentul
jatuh ke lantai saja akan terdengar. Ini dia… “salah satu alasan dikeluarkannya
peraturan perundang-undangan ialah terdapatnya keadaan mendesak". Tidak
perlu menunggu delapan dekade, yang diperlukan hanya keadaan mendesak.
Lalu,
apa dan bagaimana yang dimaksud dengan keadaan mendesak? Kalau ini, silahkan
hubungi saya secara privat. There is
no free lunch!!! ^_^
Poin selanjutnya masih
dalam tulisan yang sama “Urusan agama dan negara kalau
dicampur-campur ya begini kacaunya. Mungkin secara agama, pernikahan hanyalah
sesuatu yang sakral. Tapi secara negara, pernikahan adalah sesuatu yang perdata.”
Tampaknya penulis gagal paham kurang melakukan riset mengenai aturan cantik main perkawinan. Dalam hukum keperdataan negara hakikatnya turut campur
dalam langkah pencegahan dan penanggulangan konflik. Kembali ke perkawinan,
dalam langkah pencegahan sebagai salah satu contoh, negara hadir dalam
pencatatan perkawinan. Lantas apa gunanya pencatatan perkawinan? Jawabannya banyak
beredar di logika google. Lalu sebagai contoh penanggulangan, tentu
penulis tahu Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan Machica Mochtar. Jika
belum tahu atau lupa, sekali lagi silahkan di google. Bahkan negara tidak ada
melarang perkawinan hanya dilangsungkan berdasarkan perkawinan agama, tanpa
harus mengikuti perkawinan negara yang sebenarnya hanya proses administrasi. Prinsipnya
: mau kawin hanya berdasarkan agama silahkan, kawin secara agama plus negara silahkan. Toh, yang akan menanggung akibat hukum
dari perkawinan ya para pihak yang melangsungkan perkawinan. Dapat dikatakan,
negara hadir dalam urusan hukum keperdataan tidak strict, lain halnya dalam hukum pidana.
“Dua orang
menikah, tentu saja akan menjadi hal berbeda saat mereka sendiri. Harta mereka
dan utang jika punya akan terakumulasikan. Negara ini hanya mengijinkan orang
dengan agama sama untuk dipermudah tetek-bengek hak dan kewajiban perdatanya.
Dengan kata lain, yang menikah beda agama akan otomatis terikat perjanjian
pisah harta, sebab tidak sah menurut Pasal 2 Ayat 1 UU tersebut. Sekali lagi,
jangankan sesama jenis, beda agama pun tak gampang hidupnya di sini.” Lagi-lagi penulis kurang
melakukan riset kesalahan logika. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974
dengan jelas menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan sesuai agama
dan kepercayaan masing-masing para pihak. Nah dari sini, ada enam agama di
Indonesia. Sependek pengetahuan Saya, tidak ada agama yang memperbolehkan
perkawinan beda agama, meskipun ada syaratnya sangat berat bahkan mustahil
untuk dipenuhi. Atau Penulis mungkin bisa menyebutkan agama yang
memperbolehkan perkawinan beda agama. Lebih lanjut, Penulis memandang perkawinan beda agama hanya mengenai pisah harta as simple as that. Tidak hanya
sesedarhana itu, lebih jelas rincinya silahkan riset lagi Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah
Konstitusi yang menolak permohonan perkawinan beda agama, mengingat apabila diuraikan disini akan
menjadi sangat panjang.
“Sekali lagi, jangankan sesama jenis, beda
agama pun tak gampang hidupnya di sini. Belum lagi kalau mereka cerai.
Ibu tak akan bisa minta si ayah menafkahi anaknya, sebagaimana si ayah tak bisa
punya hak perdata atas sang anak.” Pertanyaannya adalah, siapa yang
menciptakan kesusahan atas diri sendiri? Para pihak sendiri. Untuk mencegah hal
tersebut, ada baiknya mengikuti aturan hukum. Alangkah baiknya apabila salah
satu pihak pindah agama karena perkawinan itu juga memiliki konwekensi sosial.
Penulis juga mengatakan “Ini karena negara ikut-ikut agama.
Kebijakannya dipengaruhi agama. Padahal Indonesia bilang pada konstitusinya
untuk melindungi rakyatnya dan bebas memilih keyakinannya. Tapi banyak sekali
aturan-aturan tambahan yang muncul malah mencekik leher warganya. Sebab agama
masuk mencampuri urusan bernegara. Misalnya, UU anti pornografi, tentu saja
selain UU Perkawinan itu sendiri.” Saya jadi teringat tanggapan Guru
Besar saya
apabila mahasiswanya sewaktu
kuliah memberikan argument-argumen lemah ngarang. Kalian berargumen
jangan ASAL LETUP ajah! Dalam paragraf
ini, bisa diposisikan penulis dalam keadaan yang demikian. Penulis tidak
menguraikan intervensi Agama ke Negara secara jelas dan rinci dalam
aturan-aturan tambahan seperti Undang-Undang anti pornografi dan Undang-Undang
Perkawinan sebagaimana Penulis asumsikan mengakibatkan warga negaranya tercekik.
Poin berikutnya menulis mengatakan “Ingat, Indonesia bukan negara agama apa pun.
Tapi tak bisa juga dikatakan seratus persen sekuler karena dalam sebagian besar
konstitusinya, agama benar-benar dipakai sebagai pertimbangan penting. Semisal,
adanya Kementerian Agama yang jelas-jelas mengatur urusan keyakinan warga sini.
Padahal, idealnya sebuah negara terbentuk karena ingin melindungi warganya
sehingga hidup tenteram, aman, dan nyaman, seperti kata filsuf Inggris John
Locke. Sementara agama, seperti kata Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, tujuannya
ada di Bumi ini adalah untuk mengontrol diri kita sendiri, bukan untuk
mengkritisi orang lain. Jadi, sebenarnya, AS hanya sedang melakukan perannya
sebagai negara untuk mengakomodir kebutuhan warganya. Bisakah Indonesia begitu?
Saya masih akan jawab, bisa. Tapi masih jauh. Kita tertinggal delapan puluhan
tahun dari mereka.” Apakah Undang-Undang Perkawinan dan beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan masalah perkawinan tidak cukup mengakomodir
kebutuhan warga Indonesia? Pertanyaannya lanjutannya adalah, apakah LGBT di
Indonesia sudah merasa membutuhkan pelegalan perkawinan? Mengingat diatas telah
saya katakan, perkawinan bukan menyoal antara para pihak, lebih dari itu
melibatkan konswekensi sosial. Sebagai bahan pemikiran untuk penulis,
bagaimana apabila LGBT dilegalkan, mari kita imajinasikan sejenak. Sebagai mahasiswa
USU yang
mayoritas batak bagaimana LGBT ini dilaksanakan? Bagaimana dengan tatanan dalinan
natolu. Siapa yang menjadi dongan sabutuha, boru, hula-hula namboru.disini.
Penulis juga mengatakan “Orang-orang di sini masih sempit dengan
penalarannya. Misalnya menolak fakta bahwa jadi LGBT adalah bawaan lahir. Atau
fakta sederhana, bahwa satu dari sepuluh bayi laki-laki yang lahir adalah gay.
Atau mungkin, perkataan Psikolog Sigmund Freud yang bilang kalau semua orang
tidak terlahir seratus persen heteroseksual.” Memang menarik mendiskusikan Freud yang mengemukakan
teorinya mengenai perkembangan seksual dalam Three Essays on the Theory
of Sexuality. Perlu juga menjadi catatan bahwa Freud mengatakan bahwa seksualitas
manusia berkembang dari sejak ia dilahirkan. Saat lahir, seorang anak memiliki
energi seksual yang disebutnya sebagai libido. Masturbasi, seks oral,
homoseksual dan kecenderungan-kecenderungan seksual lain, tidak dianggap Freud
sebagai seksualitas yang normal.
Bagian penutup penulis menuturkan hal
yang demikian “Biasanya, ilmu pengetahuan di atas akan ditepis sarkas. Belum
lagi kalau mereka mendengar kalau ada Pastor yang menemukan alasan di Alkitab
bahwa Tuhan tidak melarang LGBT[1]. Atau adanya organisasi Islam yang
mengakomodasi LGBT untuk menerima diri mereka, tapi taat sebagai seorang muslim[2]. Mungkin, bakal kebakaran jenggot semua
dan teriaki orang-orang lain sebagai kafir!” Perlu
penulis ingat, bahwa setiap agama memiliki pemeluk-pemeluk yang fundamentalis. Mereka
inilah yang lebih mencintai Agama daripada Tuhan. Jadi perlu dicatat, tidak
semua bakal kebakaran jenggot dan berteriak kepada orang lain sebagai kafir sebagaimana
penulis sebutkan. Saya berkeyakinan penulis cukup bijaksana dapat melihat bahwa
masih banyak pemeluk agama yang toleransi dan berpikiran terbuka, buktikan saja
di sekitar lingkungan penulis berada.
Sebagai penutup, saya akan mengutip pepatah lama yang
menyatakan, “semut diseberang tampak, gajah di depan mata tak tampak mungkin
juga gajahnya terlalu dekat. Untuk selanjutnya bagaimana apabila kita
membahas nasib pengungsi sinabung dikaitkan dengan korupsi bansos?
Hidup mahasiswa!!!
*Silahkan dibully*
Catatan
*Untuk tulisan yang kedua ini mau
ditanggapi tapi webnya “under repair”, kapan-kapan ajahlah kalau webnya sudah
bagus. ^_^
**Saya juga memberikan catatan kecil kepada
Redaktur Suara USU periode ini, tanpa mengurangi rasa hormat bahwa mengapa
tulisan yang menurut ukuran saya kurang riset ini naik di situs online? Sementara tulisan saya yang ini tidak dimuat ciyyeeecurhatciyyeee.
(macam
ada ajah yang baca tulisan awak ini bagh,,hahaha).