Wafatnya Sang Guru Besar

sumber foto di sini


Tuntutan pertama dalam menyelesaikan tugas akhir adalah kebutuhan referensi baik untuk membuka wawasan penulis hingga upaya menciptakan bangunan penelitian yang kokoh dan ilmiah. Ibarat kata, kebutuhan referensi menjadi kebutuhan pokok dalam proyek tugas akhir, sebuah karya ilmiah. Pemenuhan kebutuhan referensi membawa kita ke tempat-tempat yang kita anggap sarangnya buku, mulai dari perpustakaan hingga toko buku. Penulis sendiri mengunjungi pusat penjualan buku "andalan" di kota Medan. Deretan toko yang menjual beragam buku mulai dari buku asli, asli tapi palsu sampai second hand dijual murah-meriah. Titi Gantung demikian namanya.
Ada suatu kejadian yang memberikan kesan tersendiri bagi penulis, sebuah pesan penting tentang kehidupan. Bukan menyoal keluhan pedagang mengenai pemindahan lokasi berdagang yang mereka duga akan menurunkan omzet. Tetapi menyangkut masalah besar tentang keberlangsungan hidup seseorang, keilmiahan, kepakaran serta nama besar. Kombinasi keempatnya mengantarkan kita pada ciri seorang guru besar, seseorang yang sangat mumpuni serta sangat dalam keilmuannya di bidang tertentu.
Benang merah apakah yang ada dibalik semua hal tersebut, antara penjual buku dan Guru Besar? Berikut kutipan percakapan antara penulis dengan salah satu pedagang buku :
“Bang, ada buku tulisan Prof. X?”.
“Oh, Prof. X. bukunya gak ada dek, udah lama meninggal dia dek.”
“Abang kok tahu Prof. X. sudah meninggal?”
“Iya, Prof. X. bukunya terakhir terbit antara 5 atau 7 tahun yang lalu.”
Kalimat terakhir pedagang buku tersebut menggetarkan pikiran penulis yang kemudian terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Ingin sekali rasanya berteriak pada pedagang tersebut, “jadi orang jangan sok tahu, lantas semalam yang saya jumpai dan ajak diskusi di kampus siapa?” namun urung penulis katakan. Kejadian itu terus berputar di pikiran penulis sepanjang perjalanan pulang. Sentilan kecil yang menohok pikiran. Bagi penulis pribadi, ini bukan urusan sederhana.
Kejadian itu membuka pikiran penulis pada perspektif tentang indikator hidup-mati seseorang. Bagi pedagang buku indikator hidup-matinya seseorang, apalagi sekelas Guru Besar adalah karyanya. Apabila tidak mengeluarkan ataupun menerbitkan karyanya, maka matilah orang tersebut. Tentu saja, indikator hidup-mati seseorang menurut pedagang buku, berbeda dengan indikator dokter maupun pemuka agama.
Yang terpenting adalah bila pedagang buku saja menggunakan indikator “karya” terhadap hidup-matinya seseorang. Lantas kita yang mengaku sebagai insan civitas akademika, indikator apa yang kita gunakan?
Karakter Guru Besar
Perjalanan panjang penuh aral menjadi harga yang harus dibayar sampai akhirnya gelar Guru Besar dapat dimenangkan. Dimulai dari penguasaan keilmuan serta persyaratan administrasi-akademik lainnya. Dilihat dari sudut ilmiah, tentu saja seorang Guru Besar telah (wajib) melahirkan karya ilmiah. Syarat yang seyogyanya memang harus dipenuhi. Tanpa  bermaksud  mendiskreditkan bahwa karya ilmiah tersebut dilahirkan untuk memenuhi syarat  mendapatkan gelar Guru Besar. Bersamaan dengan perolehan gelar maka terhentilah gairah  berkarya. Ada banyak sekali kemungkinan yang menjadi penyebabnya, mungkin saja sejumlah tambahan tugas lain sebagai Guru Besar, seperti menjadi ahli di lembaga kepresidenan, ahli di kementrian dan lain sebagainya. Tentu saja menyita waktu dan pemikiran yang semakin mempersempit ruang untuk menciptakan karya ilmiah. Atau bisa juga karya-karya iliniah terdahulu tidak diterbitkan  lagi, mengenai persoalan ini yang dapat menjawabnya adalah pihak penerbit.
Belum lagi soal belajar-mengajar mata kuliah di kampus. Matakuliah yang diampu oleh seorang Guru Besar seringkali mengalami gangguan dalam proses perkuliahannya, dimana seakan-akan kegiatan “diluar kampus” merupakan hal yang Wajib, sementara kegiatan belajar-mengajar dikampus adalah hal yang Sunnah. Sama sekali tidak bermaksud menyamaratakan seluruh Guru Besar yang ada, menyoal penilaian benar-tidaknya, penulis serahkan kepada khalayak pembaca.

Gejala Buruk
            “Guru Kencing berdiri, murid kencing berlari,” Pepatah klasik yang secara bebas diartikan dengan bagaimana guru, begitu juga muridnya. Bila Guru Besar saja enggan untuk berkarya (lagi), melahirkan karya ilmiah serta tulisan bernas bagaimana dengan mahasiswa? Memang ada, sejumlah mahasiswa yang tetap melahirkan karya maupun tulisan ilmiah. Namun, keberadaan figur panutan selalu menduduki peran penting dalam perkembangan mahasiswa. Paling tidak untuk menambah kepercayaan diri bahwa mereka adalah mahasiswa "buah tangan" Universitas Sumatera Utara yang Guru Besarnya sudah biasa berkarya.
Lebih parahnya lagi, kebanyakan (dalam jumlah yang besar) jangankan menulis atau melahirkan karya ilmiah. Untuk membaca saja sekarang mahasiswa malas! Konon kabarnya, mahasiswa bosan/jenuh dengan buku ajar yang ditulis oleh orang yang mereka tidak dikenal. Bahkan ada penulis yang memonopoli suatu mata kuliah. Bahan ajar seluruhnya beliau tulis, yang memang keilmuannya tidak diragukan. Tentu saja bukan dari kampus tercinta ini! Mungkin saja, jika penulis buku ajar dari Guru Besar maupun Dosen sendiri, minat baca-tulis mahasiswa akan meningkat.
Tanpa bermaksud menggenalisir serta menilai bahwa seluruh Guru Besar berlaku demikian. Memang ada, buku yang didapat dari Guru Besar maupun Dosen, tetapi maaf, tidak lebih dari proses jual-beli buku. Tidak ada kegiatan ilmiah seperti seminar buku, bedah buku, kritik buku dan kegiatan ilmiah sejenis lainnya. Syukur-syukur menjadi buku pegangan. Lain halnya lagi persoalan "diktator" (penjual diktat)! Penulis fikir, mengenai diktator tidak perlu dijelaskan panjang lebar dalam tulisan ini, mengingat keterbatasan ruang. Mungkin mengenai diktator bolehlah dibahas dalam tulisan lain.

Monumen Hidup
Kita ketahui bersama, harimau mati meninggalkan belang. Lalu  manusia? Bagi penulis sendiri apa yang menjadi pertinggal diri manusia adalah karya, dalam hal ikhwal konteks tulisan ini yakni buku. Apa yang dapat kita tinggalkan untuk kehidupan ilmiah kita? Jawabannya ialah karya tulis ataupun buku. Buku merupakan monumen hidup seseorang. Beruntunglah mereka-mereka yang memiliki monumen hidup, yang menandakan mereka pernah hidup. Mereka menuangkan pikiran yang akan terus dipelajari, digali oleh manusia-manusia lainnya. Meskipun mereka telah mati dalam artian sebenarnya.
Seperti Tan Malaka yang berseru “Suaraku lebih keras dari dalam kubur”. Tan Malaka, salah satu dari mereka yang memiliki monumen hidup. Karya-karya Tan Malaka seperti Madilog  tetap digali dan dipelajari sampai saat ini. Atau buku kumpulan tulisan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi. Yang paling menggetarkan hati adalah  Moehammad Hatta menjadikan buku sebagai mahar perkawinan. Hatta tidak saja meninggalkan monumen hidup, namun juga mendapatkan pasangan hidupnya melalui karya, melalui buku yang beliau tulis sendiri. Juga Soe Hok Gie dengan Catatan Seorang Demonstran-nya yang  telah dibaca dan dijadikan inspirasi pergerakan oleh jutaan mahasiswa setelahnya.
Sejatinya, penulis ataupun mungkin khalayak pembaca menginginkan Guru Besar yang tetap berkarya sehingga semangat yang sama mengkristal serta menjangkiti mahasiswa, semangat yang cukup untuk melahirkan tindakan. Guru digugu, guru ditiru. Semoga setiap kita, baik Guru Besar, penulis maupun khalayak pembaca mampu menciptakan monumen hidup, sebagai warisan dan pertanda bahwa kita pernah ada.

Catatan
*Tulisan ini ditulis sewaktu “jeda” antara BAB III ke BAB IV penulisan skripsi Saya.
**Tulisan ini telah ditolak untuk dimuat dalam tabloid Suara USU dengan beberapa poin alasan yang berintikan : riset, riset, riset!
Terima kasih kepada Suara USU, walaupun tidak dimuat tetapi memberikan komentar (ilmu) tidak seperti redaksi lain apabila tidak dimuat, emailnya langsung didelete. hehehe 

0 komentar:

Posting Komentar