Renungan Kebangkitan Nasional

20 Mei 1908.
Dengan digerakkan oleh sejumlah tokoh pemuda, semangat persatuan, nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia merebak. Hembusan perjuangan memasuki sukma dan kalbu. Keberanian membuncah dalam diri. Penjajahan, bagaimanapun wujudnya harus dihapuskan dari atas muka bumi. Tidak ada satupun alasan pembenar atas perbuatan tersebut.

Namun, tidak setiap manusia mampu mewujudkan rasa kemanusiannya. Seakan menjadi sebuah kewajaran, apabila manusia menjajah manusia lainnya. Entah atas dasar apa, segolongan manusia berhak menjadikan manusia lainnya dalam golongan jajahan. Golongan yang memang pantas untuk dijajah.

Sebagai bangsa jajahan, nasib tidak akan berubah sampai kapanpun jika tidak ada keinginan untuk merubahnya. Pemikiran-pemikiran yang disertai dengan pergerakan-pergerakan untuk menghapuskan penjajahan dimulai. Keberlanjutan perjuangan puluhan tahun dilakukan. Di atas meja, di medan perang. Tujuan mulia, menjadi bangsa merdeka, mandiri mampu mengurusi diri sendiri.

20 Mei 1998
Tiga dekade sudah Sang Jendral memimpin negara ini. Pembangunan yang dihembuskan di awal kepemimpinan semakin hilang entah kemana. Lebih diperparah dengan bau korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengelilingi Sang Jendral. Falsafah ABS (Asal Bapak Senang) ditengarai sebagai penyebab.

Semakin lama bau itu semakin tercium. Rakyat meradang, krisis ekonomi menjadi jalan. Kekacaun terjadi, sesama warga negara memangsa warga negara lainnya. Ironi, masing-masing hanya menjalankan peran sesuai kapasitas. Reformasi mengorbankan anak sendiri. Merekalah pahlawan reformasi, yang darahnya tumpah demi negara tercinta.

Setelah bergulat hampir sebulan, hari ini berhembus kabar, Sang Jendral sudah rela melepaskan kekuasaan. Matahari akan tenggelam diufuk barat, dan kabar tersebut tampaknya hanya isapan jempol belaka. Sebuah harapan, esok hari negara ini dipimpin oleh Presiden baru.

20 Mei 2014
Lagi, berita televisi, headline surat kabar, suara gelombang radio, diskusi ilmiah sampai diskusi jalanan. Semuanya menyoal korupsi, selalu saja hangat, semakin merajalela. Rohaniawan, Negarawan, sampai akademisi memperingatkan dampak laten korupsi. Bisa gulung tikar negara ini jika semua dikorupsi, kurang lebih inti pesan yang disampaikan. Tentu saja dengan bumbu-bumbu kejahatan sosial, agar mereka yang tidak percaya terhadap negara ini dapat tersentuh nuraninya.

Mengkhawatirkan, suguhan kasus demi  kasus berdampak terhadap pandangan masyarakat. Tidak sedikit yang memandang korupsi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka yang dipercaya sebagai pengurus negara. Atau yang lebih parah lagi ialah orang-orang yang memandang korupsi merupakan gaya hidup.

Tanggapan bagi seseorang yang terjerat kasus korupsi adalah bahwa pelaku hanya terkena sial. Para pengurus negara lainnya, hanya menunggu waktu mendapat giliran. Demikian juga dengan sikap para pelaku korupsi, mereka tanpa beban moral tampil dihadapan publik tak ubahnya seperti artis dadakan yang tiba-tiba naik daun. Semangat yang digariskan 20 Mei 1908 dan 20 Mei 1998 sudah tidak berpengaruh, untungnya meski hanya sedikit masih ada semacam seremoni sekedar sebagai sebuah peringatan.

Hingar bingar pemilihan presiden! Pendukung masing-masing calon tampak tidak rela jika dukungannya dibuka boroknya. Bahwa calon mereka merupakan manusia yang tanpa cela. Tapi seperti petuah agama, “simpanlah keburukan saudara mu sendiri.” Namun tampaknya masyarakat kebanyakan tidak perduli. Siapapun yang menjadi presiden, toh diri sendiri yang menghadapi kerasnya hidup. Diri sendiri yang membanting tulang demi anak istri. Semoga saja. Presiden selanjutnya dapat membawa Negara ini ke arah yang lebih baik. Tidak muluk-muluk!


0 komentar:

Posting Komentar