Pages

Tanggapan Tulisan Tentang LGBT


Meskipun isu LGBT ini dapat dikatakan sudah basi, seperti isu-isu panas lainnya di negara ini yang berpola, panas diawal kemudian ujungnya berakhir entah bagaimana gak jelas. Namun, isu ini kembali mencuat, sebab-musababnya adalah artikel ini yang disebarkan melalui Grup line Mushalla yang Saya tergabung di dalamnya.  Berdasarkan hal tersebut, seorang Senior yang telah mapan finansial tergerak untuk mengadakan sayembara dengan hadiah sejumlah angpao uang satu juta rupiah bagi anggota grup yang dapat memberikan tanggapan bantahan terhadap tulisan tersebut. Sebagai seorang yang suka duit tantangan, Saya tidak akan melewatkan tawaran yang cukup menggiurkan tersebut. Saya berkeyakinan bahwa angpao uang satu juta rupiah hadiah sayembara tersebut merupakan jodoh yang tepat bagi dompet saya yang sebenarnya cukup tebal  berisikan struk atm dan faktur belanjaan indomaret. Tak dinyana, untung tak dapat diraih. Saya tidak memenuhi kualifikasi administrasi.
Saya harus mengikhlaskan angpao uang satu juta rupiah sepertinya bukan jodoh yang tepat bagi dompet Saya. Jodoh dompet saya mungkin angpao-angpao lain diluar sana. Seperti kredo, Jodoh di tangan Tuhan yang berseragam pns pilihan utama calon mertua. Menyanggupi tantangan tersebut, seorang Junior memberikan tanggapan yang tulisannya dapat dibaca di sini. Selain suka duit tantangan saya juga suka duit berkomentar, mulut tangan Saya gatal untuk ikut berkontribusi memberikan pandangan awam mengenai hal ini, meskipun tanpa iming-iming angpao.
Here you are…
Pertama Saya akan menanggapi tulisan yang pertama ini. Penulis tampaknya sangat memahami konteks permasalahan mengenai LGBT yang diputus oleh Mahkamah Agung Negeri Paman Sam yang nun jauh di sana. HAK SIPIL. Dalam hukum Indonesia lebih mengenal istilah Hak Keperdataan, dimana Pernikahan merupakan termasuk dalam salah satunya. Yang mana, sebelum keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan diatur dalam Buku I KUHPerdata warisan penjajah. Dengan tegas di dalam kedua undang-undang tersebut, hanya diantara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang dapat melakukan perkawinan.
 Jika dikaitkan dengan isu LGBT, penulis meramal bahwa “Yang jadi pertanyaan besar dari kejadian di AS sana adalah, bagaimana dengan LGBT di Indonesia, bisakah mereka nantinya juga legal untuk menikah? Hal inilah yang akan dibahas di sini. Pertama, jawaban saya pribadi untuk pertanyaan di atas adalah: tentu saja tidak dalam waktu dekat. Bisa jadi delapan dekade lagi. Tapi bisa saja.  LGBT tentu saja tidak dalam waktu dekat. Bisa jadi delapan dekade lagi. Tapi bisa saja.” Jangan terlalu pesimis. Sebagai orang yang sedikit mengerti hukum Saya akan memberitahukan khalayak pembaca sebuah ilmu terkhusus buat penulis. Ilmu kanuragan, yang mendapatkannya saja harus bergurudosen dimana suasana sewaktu perkuliahan, jarum pentul jatuh ke lantai saja akan terdengar. Ini dia… “salah satu alasan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ialah terdapatnya keadaan mendesak". Tidak perlu menunggu delapan dekade, yang diperlukan hanya keadaan mendesak.
Lalu, apa dan bagaimana yang dimaksud dengan keadaan mendesak? Kalau ini, silahkan hubungi saya secara privat. There is  no free lunch!!! ^_^
Poin selanjutnya masih dalam tulisan yang sama Urusan agama dan negara kalau dicampur-campur ya begini kacaunya. Mungkin secara agama, pernikahan hanyalah sesuatu yang sakral. Tapi secara negara, pernikahan adalah sesuatu yang perdata.” Tampaknya penulis gagal paham kurang melakukan riset mengenai aturan cantik main perkawinan. Dalam hukum keperdataan negara hakikatnya turut campur dalam langkah pencegahan dan penanggulangan konflik. Kembali ke perkawinan, dalam langkah pencegahan sebagai salah satu contoh, negara hadir dalam pencatatan perkawinan. Lantas apa gunanya pencatatan perkawinan? Jawabannya banyak beredar di logika google. Lalu sebagai contoh penanggulangan, tentu penulis tahu Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan Machica Mochtar. Jika belum tahu atau lupa, sekali lagi silahkan di google. Bahkan negara tidak ada melarang perkawinan hanya dilangsungkan berdasarkan perkawinan agama, tanpa harus mengikuti perkawinan negara yang sebenarnya hanya proses administrasi. Prinsipnya : mau kawin hanya berdasarkan agama silahkan, kawin secara agama plus negara silahkan. Toh, yang akan menanggung akibat hukum dari perkawinan ya para pihak yang melangsungkan perkawinan. Dapat dikatakan, negara hadir dalam urusan hukum keperdataan tidak strict, lain halnya dalam hukum pidana.
 “Dua orang menikah, tentu saja akan menjadi hal berbeda saat mereka sendiri. Harta mereka dan utang jika punya akan terakumulasikan. Negara ini hanya mengijinkan orang dengan agama sama untuk dipermudah tetek-bengek hak dan kewajiban perdatanya. Dengan kata lain, yang menikah beda agama akan otomatis terikat perjanjian pisah harta, sebab tidak sah menurut Pasal 2 Ayat 1 UU tersebut. Sekali lagi, jangankan sesama jenis, beda agama pun tak gampang hidupnya di sini.” Lagi-lagi penulis kurang melakukan riset kesalahan logika. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dengan jelas menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing para pihak. Nah dari sini, ada enam agama di Indonesia. Sependek pengetahuan Saya, tidak ada agama yang memperbolehkan perkawinan beda agama, meskipun ada syaratnya sangat berat bahkan mustahil untuk dipenuhi.  Atau Penulis mungkin bisa menyebutkan agama yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Lebih lanjut, Penulis memandang perkawinan beda agama hanya mengenai pisah harta as simple as that. Tidak hanya sesedarhana itu, lebih jelas rincinya silahkan riset lagi Undang-Undang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perkawinan beda agama, mengingat apabila diuraikan disini akan menjadi sangat panjang.
Sekali lagi, jangankan sesama jenis, beda agama pun tak gampang hidupnya di sini. Belum lagi kalau mereka cerai. Ibu tak akan bisa minta si ayah menafkahi anaknya, sebagaimana si ayah tak bisa punya hak perdata atas sang anak.” Pertanyaannya adalah, siapa yang menciptakan kesusahan atas diri sendiri? Para pihak sendiri. Untuk mencegah hal tersebut, ada baiknya mengikuti aturan hukum. Alangkah baiknya apabila salah satu pihak pindah agama karena perkawinan itu juga memiliki konwekensi sosial.
Penulis juga mengatakan “Ini karena negara ikut-ikut agama. Kebijakannya dipengaruhi agama. Padahal Indonesia bilang pada konstitusinya untuk melindungi rakyatnya dan bebas memilih keyakinannya. Tapi banyak sekali aturan-aturan tambahan yang muncul malah mencekik leher warganya. Sebab agama masuk mencampuri urusan bernegara. Misalnya, UU anti pornografi, tentu saja selain UU Perkawinan itu sendiri.” Saya jadi teringat tanggapan Guru Besar saya apabila mahasiswanya sewaktu kuliah memberikan argument-argumen lemah ngarang. Kalian berargumen jangan ASAL LETUP  ajah! Dalam paragraf ini, bisa diposisikan penulis dalam keadaan yang demikian. Penulis tidak menguraikan intervensi Agama ke Negara secara jelas dan rinci dalam aturan-aturan tambahan seperti Undang-Undang anti pornografi dan Undang-Undang Perkawinan sebagaimana Penulis asumsikan mengakibatkan warga negaranya tercekik.
Poin berikutnya menulis mengatakan “Ingat, Indonesia bukan negara agama apa pun. Tapi tak bisa juga dikatakan seratus persen sekuler karena dalam sebagian besar konstitusinya, agama benar-benar dipakai sebagai pertimbangan penting. Semisal, adanya Kementerian Agama yang jelas-jelas mengatur urusan keyakinan warga sini. Padahal, idealnya sebuah negara terbentuk karena ingin melindungi warganya sehingga hidup tenteram, aman, dan nyaman, seperti kata filsuf Inggris John Locke. Sementara agama, seperti kata Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, tujuannya ada di Bumi ini adalah untuk mengontrol diri kita sendiri, bukan untuk mengkritisi orang lain. Jadi, sebenarnya, AS hanya sedang melakukan perannya sebagai negara untuk mengakomodir kebutuhan warganya. Bisakah Indonesia begitu? Saya masih akan jawab, bisa. Tapi masih jauh. Kita tertinggal delapan puluhan tahun dari mereka.” Apakah Undang-Undang Perkawinan dan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan masalah perkawinan tidak cukup mengakomodir kebutuhan warga Indonesia? Pertanyaannya lanjutannya adalah, apakah LGBT di Indonesia sudah merasa membutuhkan pelegalan perkawinan? Mengingat diatas telah saya katakan, perkawinan bukan menyoal antara para pihak, lebih dari itu melibatkan konswekensi sosial. Sebagai bahan pemikiran untuk penulis, bagaimana apabila LGBT dilegalkan, mari kita imajinasikan sejenak. Sebagai mahasiswa USU yang mayoritas batak bagaimana LGBT ini dilaksanakan? Bagaimana dengan tatanan dalinan natolu. Siapa yang menjadi dongan sabutuha, boru, hula-hula namboru.disini.
Penulis juga mengatakan “Orang-orang di sini masih sempit dengan penalarannya. Misalnya menolak fakta bahwa jadi LGBT adalah bawaan lahir. Atau fakta sederhana, bahwa satu dari sepuluh bayi laki-laki yang lahir adalah gay. Atau mungkin, perkataan Psikolog Sigmund Freud yang bilang kalau semua orang tidak terlahir seratus persen heteroseksual.” Memang menarik mendiskusikan Freud yang mengemukakan teorinya mengenai perkembangan seksual dalam Three Essays on the Theory of Sexuality. Perlu juga menjadi catatan bahwa Freud mengatakan bahwa seksualitas manusia berkembang dari sejak ia dilahirkan. Saat lahir, seorang anak memiliki energi seksual yang disebutnya sebagai libido. Masturbasi, seks oral, homoseksual dan kecenderungan-kecenderungan seksual lain, tidak dianggap Freud sebagai seksualitas yang normal.
Bagian penutup penulis menuturkan hal yang demikian “Biasanya, ilmu pengetahuan di atas akan ditepis sarkas. Belum lagi kalau mereka mendengar kalau ada Pastor yang menemukan alasan di Alkitab bahwa Tuhan tidak melarang LGBT[1]. Atau adanya organisasi Islam yang mengakomodasi LGBT untuk menerima diri mereka, tapi taat sebagai seorang muslim[2]. Mungkin, bakal kebakaran jenggot semua dan teriaki orang-orang lain sebagai kafir!” Perlu penulis ingat, bahwa setiap agama memiliki pemeluk-pemeluk yang fundamentalis. Mereka inilah yang lebih mencintai Agama daripada Tuhan. Jadi perlu dicatat, tidak semua bakal kebakaran jenggot dan berteriak kepada orang lain sebagai kafir sebagaimana penulis sebutkan. Saya berkeyakinan penulis cukup bijaksana dapat melihat bahwa masih banyak pemeluk agama yang toleransi dan berpikiran terbuka, buktikan saja di sekitar lingkungan penulis berada.
Sebagai penutup, saya akan mengutip pepatah lama yang menyatakan, “semut diseberang tampak, gajah di depan mata tak tampak mungkin juga gajahnya terlalu dekat. Untuk selanjutnya bagaimana apabila kita membahas nasib pengungsi sinabung dikaitkan dengan korupsi bansos?
Hidup mahasiswa!!!

*Silahkan dibully*

Catatan
*Untuk tulisan yang kedua ini mau ditanggapi tapi webnya “under repair”, kapan-kapan ajahlah kalau webnya sudah bagus. ^_^                                                                                                            
**Saya juga memberikan catatan kecil kepada Redaktur Suara USU periode ini, tanpa mengurangi rasa hormat bahwa mengapa tulisan yang menurut ukuran saya kurang riset ini naik di situs online? Sementara tulisan saya yang ini tidak dimuat ciyyeeecurhatciyyeee.
(macam ada ajah yang baca tulisan awak ini bagh,,hahaha).


Wafatnya Sang Guru Besar

sumber foto di sini


Tuntutan pertama dalam menyelesaikan tugas akhir adalah kebutuhan referensi baik untuk membuka wawasan penulis hingga upaya menciptakan bangunan penelitian yang kokoh dan ilmiah. Ibarat kata, kebutuhan referensi menjadi kebutuhan pokok dalam proyek tugas akhir, sebuah karya ilmiah. Pemenuhan kebutuhan referensi membawa kita ke tempat-tempat yang kita anggap sarangnya buku, mulai dari perpustakaan hingga toko buku. Penulis sendiri mengunjungi pusat penjualan buku "andalan" di kota Medan. Deretan toko yang menjual beragam buku mulai dari buku asli, asli tapi palsu sampai second hand dijual murah-meriah. Titi Gantung demikian namanya.
Ada suatu kejadian yang memberikan kesan tersendiri bagi penulis, sebuah pesan penting tentang kehidupan. Bukan menyoal keluhan pedagang mengenai pemindahan lokasi berdagang yang mereka duga akan menurunkan omzet. Tetapi menyangkut masalah besar tentang keberlangsungan hidup seseorang, keilmiahan, kepakaran serta nama besar. Kombinasi keempatnya mengantarkan kita pada ciri seorang guru besar, seseorang yang sangat mumpuni serta sangat dalam keilmuannya di bidang tertentu.
Benang merah apakah yang ada dibalik semua hal tersebut, antara penjual buku dan Guru Besar? Berikut kutipan percakapan antara penulis dengan salah satu pedagang buku :
“Bang, ada buku tulisan Prof. X?”.
“Oh, Prof. X. bukunya gak ada dek, udah lama meninggal dia dek.”
“Abang kok tahu Prof. X. sudah meninggal?”
“Iya, Prof. X. bukunya terakhir terbit antara 5 atau 7 tahun yang lalu.”
Kalimat terakhir pedagang buku tersebut menggetarkan pikiran penulis yang kemudian terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Ingin sekali rasanya berteriak pada pedagang tersebut, “jadi orang jangan sok tahu, lantas semalam yang saya jumpai dan ajak diskusi di kampus siapa?” namun urung penulis katakan. Kejadian itu terus berputar di pikiran penulis sepanjang perjalanan pulang. Sentilan kecil yang menohok pikiran. Bagi penulis pribadi, ini bukan urusan sederhana.
Kejadian itu membuka pikiran penulis pada perspektif tentang indikator hidup-mati seseorang. Bagi pedagang buku indikator hidup-matinya seseorang, apalagi sekelas Guru Besar adalah karyanya. Apabila tidak mengeluarkan ataupun menerbitkan karyanya, maka matilah orang tersebut. Tentu saja, indikator hidup-mati seseorang menurut pedagang buku, berbeda dengan indikator dokter maupun pemuka agama.
Yang terpenting adalah bila pedagang buku saja menggunakan indikator “karya” terhadap hidup-matinya seseorang. Lantas kita yang mengaku sebagai insan civitas akademika, indikator apa yang kita gunakan?
Karakter Guru Besar
Perjalanan panjang penuh aral menjadi harga yang harus dibayar sampai akhirnya gelar Guru Besar dapat dimenangkan. Dimulai dari penguasaan keilmuan serta persyaratan administrasi-akademik lainnya. Dilihat dari sudut ilmiah, tentu saja seorang Guru Besar telah (wajib) melahirkan karya ilmiah. Syarat yang seyogyanya memang harus dipenuhi. Tanpa  bermaksud  mendiskreditkan bahwa karya ilmiah tersebut dilahirkan untuk memenuhi syarat  mendapatkan gelar Guru Besar. Bersamaan dengan perolehan gelar maka terhentilah gairah  berkarya. Ada banyak sekali kemungkinan yang menjadi penyebabnya, mungkin saja sejumlah tambahan tugas lain sebagai Guru Besar, seperti menjadi ahli di lembaga kepresidenan, ahli di kementrian dan lain sebagainya. Tentu saja menyita waktu dan pemikiran yang semakin mempersempit ruang untuk menciptakan karya ilmiah. Atau bisa juga karya-karya iliniah terdahulu tidak diterbitkan  lagi, mengenai persoalan ini yang dapat menjawabnya adalah pihak penerbit.
Belum lagi soal belajar-mengajar mata kuliah di kampus. Matakuliah yang diampu oleh seorang Guru Besar seringkali mengalami gangguan dalam proses perkuliahannya, dimana seakan-akan kegiatan “diluar kampus” merupakan hal yang Wajib, sementara kegiatan belajar-mengajar dikampus adalah hal yang Sunnah. Sama sekali tidak bermaksud menyamaratakan seluruh Guru Besar yang ada, menyoal penilaian benar-tidaknya, penulis serahkan kepada khalayak pembaca.

Gejala Buruk
            “Guru Kencing berdiri, murid kencing berlari,” Pepatah klasik yang secara bebas diartikan dengan bagaimana guru, begitu juga muridnya. Bila Guru Besar saja enggan untuk berkarya (lagi), melahirkan karya ilmiah serta tulisan bernas bagaimana dengan mahasiswa? Memang ada, sejumlah mahasiswa yang tetap melahirkan karya maupun tulisan ilmiah. Namun, keberadaan figur panutan selalu menduduki peran penting dalam perkembangan mahasiswa. Paling tidak untuk menambah kepercayaan diri bahwa mereka adalah mahasiswa "buah tangan" Universitas Sumatera Utara yang Guru Besarnya sudah biasa berkarya.
Lebih parahnya lagi, kebanyakan (dalam jumlah yang besar) jangankan menulis atau melahirkan karya ilmiah. Untuk membaca saja sekarang mahasiswa malas! Konon kabarnya, mahasiswa bosan/jenuh dengan buku ajar yang ditulis oleh orang yang mereka tidak dikenal. Bahkan ada penulis yang memonopoli suatu mata kuliah. Bahan ajar seluruhnya beliau tulis, yang memang keilmuannya tidak diragukan. Tentu saja bukan dari kampus tercinta ini! Mungkin saja, jika penulis buku ajar dari Guru Besar maupun Dosen sendiri, minat baca-tulis mahasiswa akan meningkat.
Tanpa bermaksud menggenalisir serta menilai bahwa seluruh Guru Besar berlaku demikian. Memang ada, buku yang didapat dari Guru Besar maupun Dosen, tetapi maaf, tidak lebih dari proses jual-beli buku. Tidak ada kegiatan ilmiah seperti seminar buku, bedah buku, kritik buku dan kegiatan ilmiah sejenis lainnya. Syukur-syukur menjadi buku pegangan. Lain halnya lagi persoalan "diktator" (penjual diktat)! Penulis fikir, mengenai diktator tidak perlu dijelaskan panjang lebar dalam tulisan ini, mengingat keterbatasan ruang. Mungkin mengenai diktator bolehlah dibahas dalam tulisan lain.

Monumen Hidup
Kita ketahui bersama, harimau mati meninggalkan belang. Lalu  manusia? Bagi penulis sendiri apa yang menjadi pertinggal diri manusia adalah karya, dalam hal ikhwal konteks tulisan ini yakni buku. Apa yang dapat kita tinggalkan untuk kehidupan ilmiah kita? Jawabannya ialah karya tulis ataupun buku. Buku merupakan monumen hidup seseorang. Beruntunglah mereka-mereka yang memiliki monumen hidup, yang menandakan mereka pernah hidup. Mereka menuangkan pikiran yang akan terus dipelajari, digali oleh manusia-manusia lainnya. Meskipun mereka telah mati dalam artian sebenarnya.
Seperti Tan Malaka yang berseru “Suaraku lebih keras dari dalam kubur”. Tan Malaka, salah satu dari mereka yang memiliki monumen hidup. Karya-karya Tan Malaka seperti Madilog  tetap digali dan dipelajari sampai saat ini. Atau buku kumpulan tulisan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi. Yang paling menggetarkan hati adalah  Moehammad Hatta menjadikan buku sebagai mahar perkawinan. Hatta tidak saja meninggalkan monumen hidup, namun juga mendapatkan pasangan hidupnya melalui karya, melalui buku yang beliau tulis sendiri. Juga Soe Hok Gie dengan Catatan Seorang Demonstran-nya yang  telah dibaca dan dijadikan inspirasi pergerakan oleh jutaan mahasiswa setelahnya.
Sejatinya, penulis ataupun mungkin khalayak pembaca menginginkan Guru Besar yang tetap berkarya sehingga semangat yang sama mengkristal serta menjangkiti mahasiswa, semangat yang cukup untuk melahirkan tindakan. Guru digugu, guru ditiru. Semoga setiap kita, baik Guru Besar, penulis maupun khalayak pembaca mampu menciptakan monumen hidup, sebagai warisan dan pertanda bahwa kita pernah ada.

Catatan
*Tulisan ini ditulis sewaktu “jeda” antara BAB III ke BAB IV penulisan skripsi Saya.
**Tulisan ini telah ditolak untuk dimuat dalam tabloid Suara USU dengan beberapa poin alasan yang berintikan : riset, riset, riset!
Terima kasih kepada Suara USU, walaupun tidak dimuat tetapi memberikan komentar (ilmu) tidak seperti redaksi lain apabila tidak dimuat, emailnya langsung didelete. hehehe 

Renungan Kebangkitan Nasional

20 Mei 1908.
Dengan digerakkan oleh sejumlah tokoh pemuda, semangat persatuan, nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia merebak. Hembusan perjuangan memasuki sukma dan kalbu. Keberanian membuncah dalam diri. Penjajahan, bagaimanapun wujudnya harus dihapuskan dari atas muka bumi. Tidak ada satupun alasan pembenar atas perbuatan tersebut.

Namun, tidak setiap manusia mampu mewujudkan rasa kemanusiannya. Seakan menjadi sebuah kewajaran, apabila manusia menjajah manusia lainnya. Entah atas dasar apa, segolongan manusia berhak menjadikan manusia lainnya dalam golongan jajahan. Golongan yang memang pantas untuk dijajah.

Sebagai bangsa jajahan, nasib tidak akan berubah sampai kapanpun jika tidak ada keinginan untuk merubahnya. Pemikiran-pemikiran yang disertai dengan pergerakan-pergerakan untuk menghapuskan penjajahan dimulai. Keberlanjutan perjuangan puluhan tahun dilakukan. Di atas meja, di medan perang. Tujuan mulia, menjadi bangsa merdeka, mandiri mampu mengurusi diri sendiri.

20 Mei 1998
Tiga dekade sudah Sang Jendral memimpin negara ini. Pembangunan yang dihembuskan di awal kepemimpinan semakin hilang entah kemana. Lebih diperparah dengan bau korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengelilingi Sang Jendral. Falsafah ABS (Asal Bapak Senang) ditengarai sebagai penyebab.

Semakin lama bau itu semakin tercium. Rakyat meradang, krisis ekonomi menjadi jalan. Kekacaun terjadi, sesama warga negara memangsa warga negara lainnya. Ironi, masing-masing hanya menjalankan peran sesuai kapasitas. Reformasi mengorbankan anak sendiri. Merekalah pahlawan reformasi, yang darahnya tumpah demi negara tercinta.

Setelah bergulat hampir sebulan, hari ini berhembus kabar, Sang Jendral sudah rela melepaskan kekuasaan. Matahari akan tenggelam diufuk barat, dan kabar tersebut tampaknya hanya isapan jempol belaka. Sebuah harapan, esok hari negara ini dipimpin oleh Presiden baru.

20 Mei 2014
Lagi, berita televisi, headline surat kabar, suara gelombang radio, diskusi ilmiah sampai diskusi jalanan. Semuanya menyoal korupsi, selalu saja hangat, semakin merajalela. Rohaniawan, Negarawan, sampai akademisi memperingatkan dampak laten korupsi. Bisa gulung tikar negara ini jika semua dikorupsi, kurang lebih inti pesan yang disampaikan. Tentu saja dengan bumbu-bumbu kejahatan sosial, agar mereka yang tidak percaya terhadap negara ini dapat tersentuh nuraninya.

Mengkhawatirkan, suguhan kasus demi  kasus berdampak terhadap pandangan masyarakat. Tidak sedikit yang memandang korupsi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka yang dipercaya sebagai pengurus negara. Atau yang lebih parah lagi ialah orang-orang yang memandang korupsi merupakan gaya hidup.

Tanggapan bagi seseorang yang terjerat kasus korupsi adalah bahwa pelaku hanya terkena sial. Para pengurus negara lainnya, hanya menunggu waktu mendapat giliran. Demikian juga dengan sikap para pelaku korupsi, mereka tanpa beban moral tampil dihadapan publik tak ubahnya seperti artis dadakan yang tiba-tiba naik daun. Semangat yang digariskan 20 Mei 1908 dan 20 Mei 1998 sudah tidak berpengaruh, untungnya meski hanya sedikit masih ada semacam seremoni sekedar sebagai sebuah peringatan.

Hingar bingar pemilihan presiden! Pendukung masing-masing calon tampak tidak rela jika dukungannya dibuka boroknya. Bahwa calon mereka merupakan manusia yang tanpa cela. Tapi seperti petuah agama, “simpanlah keburukan saudara mu sendiri.” Namun tampaknya masyarakat kebanyakan tidak perduli. Siapapun yang menjadi presiden, toh diri sendiri yang menghadapi kerasnya hidup. Diri sendiri yang membanting tulang demi anak istri. Semoga saja. Presiden selanjutnya dapat membawa Negara ini ke arah yang lebih baik. Tidak muluk-muluk!


Ditolaknya Kasasi Terhadap Putusan Bebas Atas Dasar Kesalahan/Kelalaian Korban

sumber gambar : www.metrotvnews.com



Putusan ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531/K./Pid/2011 yang diputus pada tanggal 4 Januari 2012, yakni putusan bebas atas dasar kesalahan/kelalaian korban. Putusan ini terdiri atas majelis yang diketuai oleh Hakim Agung H.Imron Anwari, S.H. SpN. M.H., serta Hakim Agung Prof. Dr. H. M. Hakim Nyak Pha, S.H., DEA dan Hakim Agung Timur P. Manurung, S.H., M.M. yang masing-masing sebagai Anggota Majelis.
Untuk melihat putusan secara lengkap dapat membuka link berikut http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/21d334b71bd0cc79566bbeb2fcf5845e

Fakta hukum dalam Putusan tersebut  adalah sebagai berikut :

Kasus ini berawal ketika pada hari selasa tanggal 1 Februari tahun 2011 Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. mengemudikan mobil Mitsubishi L. 300 No. Pol L 9399 NE di Jalan Raja Pandita Daerah Tanjung Belimbing Rt. 05 kecamatan Malinau Kota, Kabupaten Malinau. Pada saat  bersamaan, datang dari arah berlawanan korban Susilawati dengan mengendarai sepeda motor yang hendak mendahului atau menyalip kendaraan yang ada didepannya. Sehingga menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban bersenggolan dengan kendaraan Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian depan kanan serta lampu depan kanan mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati terjatuh.
Akibat terjatuh dari motor tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Berdasarkan hasil visum Et Repertum Nomor : 038/VER/RM-RSUD/Mln//II2011 tanggal 03 Februari 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Leon Agung Manurung dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Malinau. Kesimpulan hasil pemeriksaan tersebut adalah “Kerusakan yang disebabkan oleh trauma tumpul”.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum :
            Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada kejaksaan Negeri Malinau tanggal 13 April 2011 sebagai berikut :
1.    Menyatakan Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. bersalah melakukan tindak pidana dalam hal yang mengemudikan kenderaan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia sebagaimana dalam surat dakwaan;
2.    Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan ;
3.    Menyatakan barang bukti berupa : …dst.

Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Negeri Malinau memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :
1.    Menyatakan Terdakwa Ahrens Williams Alias Angau Anak dari William A. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum ;
2.    Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut ;
3.    Menetapkan “Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya” ;
4.    Menetapkan “Memerintahkan Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan” ;
5.    Menetapkan barang bukti berupa ; …dst.

Selanjutnya dalam perkara ini Penuntut umum mengajukan kasasi dengan alasan-alasan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
·         Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau dalam memutuskan yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan sehingga membebaskan Terdakwa menurut Kami merupakan pikiran yang terlalu dangkal dan sempit sehingga Majelis Hakim mengenyampingkan fakta-fakta di persidangan (keterangan saksi-saksi dan Terdakwa bahwa sebelum terjadi tabrakan korban Susilawati telah membunyikan bel atau klakson kepada Terdakwa namun Terdakwa tidak berusaha menghindar ke kiri jalan ataupun mengerem serta mengenyampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
I.        Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1403.K/Pid/1987 tanggal 31 Juli 1989 tentang kesalahan korban bukan alasan pemaaf. Pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut : …dst.
II.      Putusan Mahkamah Agung Nomor : 205 K/Kr/1980 tanggal 17 November 1980, bahwa kesalahan pihak lain (korban) tidak menghapuskan kesalahan.

·         Bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan Terdakwa saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa yang merusak kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap Terdakwa tersebut dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara keluarga korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan timbul gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.


Pertimbangan Mahkamah Agung yakni:
            Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan jika putusan Judex Facti adalah bebas yang tidak murni.
Bahwa Terdakwa tidak terdapat kesalahannya yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan Mitsubishi L.300 Nomor Pol. L 9399 NE pada tanggal 1 Februari 2011, dengan bukti-bukti :
·         Bahwa pada saat mengendarai tersebut Terdakwa tetap pada jalurnya, tidak pernah melintas sehingga melanggar marka jalan ;
·         Bahwa justru kendaraan korban yang bernama Susilawati berupa sepeda motor Honda Vario Nomor Pol. KT 4433 TE dari arah yang berlawanan dengan arah kendaraan Terdakwa dengan kecepatan tinggi menyalip kendaraan yang ada di depannya hingga melewati marka jalan dan karena terlalu ke kanan sehingga menabrak kendaraan Terdakwa mengenai bagian depannya hingga rusak mobil Terdakwa sebelah kanan dan kaca spion kanan pecah ;
·         Bahwa kendaraan korban saat itu tidak pakai lampu dan atau Richting
·         Bahwa dari fakta tersebut kepada Terdakwa tidak dapat dipersalahkan karenanya tidak dapat dipidana (Oen Straff Zonder Schuld) ;


Putusan Mahkamah Agung :
Menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi dari Pemohon Kasai/Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Malinau tersebut ;

Analisa dan Opini
Norma/Dasar Hukum
Terdakwa di dakwa dengan dakwaan tunggal oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Unsur Kelalaian
Dalam rumusan pasal ini terdapat unsur yang harus terpenuhi yakni unsur karena kelalaiannya yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kelalaian. Akibat dari kelalaian (culpa) merupakan akibat yang tidak dikehendaki, karena memang tidak ada niat dari pelaku.
Kelalaian (culpa) merupakan salah satu syarat subjektif untuk menjerat pasal pidana kepada seseorang. Van Hamel membagi kelalaian atas dua jenis, yaitu kurang melihat ke depan yang perlu dan kurang hati-hati yang perlu. Kurang melihat ke depan yang perlu adalah apabila terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi. Sedangkan kurang hati-hati yang perlu adalah seperti misalnya seseorang menarik pelatuk pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada)[1].
Lebih lanjut, Sianturi dalam bukunya[2] menyebutkan beberapa kelalaian dapat diterangkan dari berbagai sudut (Sianturi menyebutnya dengan istilah kealpaan). Kealpaan dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan dan dilihat dari sudut kesadaran (beweustheid) pelaku. Dari sudut kesadaran ini terbagi lagi atas kelalaian yang disadari dan kelalain yang tidak disadari. Dikatakan sebagai “kealpaan yang disadari”, jika pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat, namun akibat itu timbul juga. Dan dikatakan sebagai “kealpaan yang tidak disadari” bilamana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya menurut perhitungan umum/yang layak pelaku dapat membayangkannya. Ringkasnya bahwa akibat yang timbul disebabkan oleh tidak adanya kehati-hatian pelaku.
Namun Professor Van Hamel berpendapat bahwa tidak semua culpa dapat dikembalikan kepada “tidak adanya kehati-hatian” dan kepada “kurang perhatian terhadap akibat yang timbul” ataupun kepada  “tidak adanya perhatian ke depan yang diperlukan” atau kepada tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan”. Professor Van Hamel mengambil contoh misalnya seorang penjaga pintu jalan kereta api yang sudah berhati-hati dan sadar akan ada kemungkinan timbulnya suatu kecelakaan apabila ia meninggalkan tempat tugasnya, namun pada suatu malam terjadi suatu hujan yang sangat deras dan penjaga pintu tersebut tetap berada di posnya untuk mencegah kedinginan dan kehujanan, namun karena kehangatan di dalam gardu, diapun segera tertidur sehingga ketika pagi hari ada kereta api yang tertabrak karena pintu kereta api tidak ditutup penjaga pintu yang sedang tertidur pulas. Dalam pandangan Professor Van Hamel, beliau berpandangan bahwa penjaga kereta api tersebut bisa dituntut bukan karena “tidak mempunyai kehati-hatian” ataupun “kurang mempunyai perhatian terhadap kemungkinan timbulnya suatu kecelaan”. Menurut beliau, penjaga pintu kereta api di dalam kasus tersebut bisa dituntut karena kesalahannya dapat menyebabkan kecelakaan dan meninggalnya banyak orang[3].
Bahwa dari uraian tersebut dapat/tidaknya seseorang dimintakan pertanggung jawaban pidananya harus diteliti dan dapat dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat kesalahan pada diri pelaku. Atau dapat dikatakan seseorang lalai apabila perbuatan yang dilakukannya terdapat unsur kesalahan sehingga kesalahan tersebutlah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana.
Untuk menilai adakah unsur kelalaian yang dilakukan Terdakwa, harus dilihat pembuktian atas peristiwa tindak pidana tersebut. Apabila pembuktian di persidangan menunjukan bahwa Terdakwa melaju pada jalur yang memang seharusnya dapat dikatakan bahwa Terdakwa tidak terdapat unsur kekurang hati-hatian yang memungkinan terjadinya kecelakaan. Atau apakah unsur kelalaian justru ada di pihak korban, karena korban saat itu sudah ada unsur kekuranghati-hatian dan seharusnya korban menyadari bahwa tindakannya bisa menimbulkan suatu kecelakaan.
Uraian kasus ini sebagaimana telah dimuat dalam fakta persidangan di atas disebutkan bahwa kendaraan Terdakwa bersenggolan dengan kendaraan Korban dikarenakan kendaraan Korban datang dari arah berlawanan hendak mendahului atau menyalip kendaraan yang ada didepannya. Sehingga menyebabkan sepeda motor yang dikendarai korban bersenggolan dengan kendaraan Terdakwa. Yang berakibat pada rusaknya bagian depan kanan serta lampu depan kanan mobil Terdakwa pecah dan korban Susilawati terjatuh.  Akibat terjatuh dari motor tersebut, korban akhirnya meninggal dunia. Dari fakta persidangan tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya, kelalaian/kekurang hati-hatian korbanlah yang mengakibatkan dirinya meninggal.
Lantas, apakah hal tersebut termasuk sebagai kategori alasan pembenar ataupun sebagai alasan pemaaf untuk menghapus tanggung jawab pidana terdakwa?

Teori Penghapusan Pidana
Alasan penghapusan pidana haruslah dibedakan dengan dasar penghapusan penuntutan. Yang pertama ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan, bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan ketentuan hukum yang membenarkan perbuatan yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Ia harus dibedakan dengan dan dipisahkan dari dasar pemidanaan penuntutan menghapuskan hak menuntut jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang[4].
Di dalam pengaturan peraturan perundang-undangan, dikenal dua alasan penghapus pidana. Yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf. Yang termasuk dalam alasan pembenar ialah keadaan darurat, pembelaan terpaksa, menjalankan peraturan perundang-undangan dan menjalankan perintah jabatan yang sah. Sementara, yang termasuk dalam alasan pemaaf terdiri atas tidak mampu bertanggung jawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampau batas dan menjalankan perintah jabatan yang tidak sah[5]. Lebih lanjut pengaturan alasan penghapusan pidana tersebut didapati pada pasal Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Akibat hukum dari alasan penghapus pidana ialah putusan hakim yang berupa putusan bebas atau putusan lepas. Selain pembagaian alasan penghapusan pidana yang telah disebutkan, ilmu pengetahuan(doktrin) mengenal juga pembagian atas :
1.    dasar pembenar, yaitu sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh hakim.
2.    dasar pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum[6].
Alasan penghapusan pidana karena dasar pemaaf ini berkaitan dengan pelaku yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Yang merupakan asas “tiada pidana tanpa adanya kesalahan”. Pelaku tidak akan dijatuhi hukuman/dipidana oleh hakim meskipun perbuatannya itu sudah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, perbuatan itu dimaafkan[7].  Terhadap kasus ini yang menjadi persolan ialah apakah kelalaian korban dapat diterima sebagai alasan pemaaf, lalu apakah hal ini menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk membebaskan terdakwa?

Analisa Putusan Pengadilan Negeri[8]

1.Tentang Pertimbangan Hukum
            Pengadilan Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur kelalaian yang terdapat pada halaman 27 sampai dengan halaman 36 berkesimpulan bahwa unsur kelalaian dalam perbuatan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Mengenai hal tersebut, pandangan penulis bahwa Hakim Pengadilan Negeri Malinau telah memberikan pertimbangan hukum yang tepat mengenai tidak terdapatnya unsur kesalahan yakni unsur kelalaian/kekurang hati-hatian pada diri Terdakwa. Majelis Hakim berpandangan, bahwa dalam diri korbanlah yang terdapat unsur kelalaian/kekurang hati-hatian, dimana sewaktu Korban mendahului kendaraan yang berada didepannya telah melewati marka atau batas jalan sehingga menyebabkan kendaraan Korban dan Terdakwa bersenggolan. Hal inilah yang dijadikan dasar hukum oleh Pengadilan Negeri Malinau dalam pertimbangan hukumnya bahwa kesalahan ada pada diri/perbuatan korban.
Dengan tidak terdapatnya unsur kesalahan yakni unsur kelalaian pada diri Terdakwa, maka pertimbangan Hukum Pengadilan Negeri Malinau menurut penulis termasuk sebagai alasan pemaaf yang sesuai dengan ilmu pengetahuan/doktrin.


2.Tentang Putusan Pengadilan Negeri Malinau 
            Mengenai bunyi Putusan Pengadilan Negeri Malinau dalam perkara ini yang telah membebaskan Terdakwa sudah tepat. Meskipun alasan penghapus pidana yang diterapkan kepada Terdakwa ialah berdasarkan ilmu pengetahuan/doktrin, bukan berdasarkan alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam mengadili perkara, hakim memiliki kebebasan serta menentukan hukumnya secara konkret terhadap suatu peristiwa pidana. Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara yang paling diutamakan adalah fakta atas peristiwa pidana yang terjadi. Melalui hukum, hakim berperan sebagai penentu siapa yang benar dan yang siapa yang harus bertanggung jawab.
Pengadilan diotorisasi oleh tata hukum untuk memutuskan kasus dalam diskresinya sendiri, untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, untuk menerima atau menolak tuntutan, untuk memerintahkan atau menolak memerintahkan suatu sanksi kepada terdakwa atau tergugat[9]. Kebebasan dimiliki oleh hakim untuk tidak hanya menemukan hukum namun juga menciptakan.
Selanjutnya, dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Malinau yang alasan-alasannya telah di uraikan di atas. Ada dua poin pokok alasan Kasasi Jaksa Penuntut Umum yang dapat disimpulkan. Pertama ialah bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan  bersalah melakukan tindak pidana hanya mementingkan kepentingan Terdakwa dan mengenyampingkan fakta-fakta persidangan. Kedua ialah mengenai Majelis Hakim telah mengenyampingkan yurisprudensi Mahkamah Agung. Atas kedua alasan tersebut, Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau telah salah menerapkan hukum.
Fakta fakta hukum yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum dalam kasasi merupakan pengulangan fakta di dalam persidangan Pengadilan Negeri Malinau. Atas alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah “pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang[10]. Menyangkut Yurisprudensi No. 1403.K/Pid/1987 dan No. 205 K/Kr/1980 yang dikutip oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada intinya menyebutkan bahwa adanya kesalahan/kelalaian korban tidaklah berarti menghapuskan kesalahan Terdakwa. Sebelumnya di dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Malinau (pada halaman 34) sudah mengutip Yurisprudensi No. 1104.K/Pid/1990 “Ternyata kendaraan yang dikenderai oleh Terdakwa berada di jalurnya yang benar sehingga tidak terbukti adanya unsur kelalaian/kealpaan pada diri Terdakwa”. Atas hal ini akan diuraikan lebih lanjut bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung.
Selain itu Jaksa Penuntut umum mengemukakan alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara. Yakni bahwa Putusan Pengadilan Negeri Malinau tersebut hanya untuk kepentingan Terdakwa saja tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan atas perbuatan Terdakwa yang merusak kehidupan masyarakat sehingga penjatuhan putusan terhadap Terdakwa tersebut dirasakan terlalu ringan, kurang mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan efek jera bagi Terdakwa serta menimbulkan gejolak antara keluarga korban Susilawati dengan keluarga Terdakwa dan dikhawatirkan akan timbul gejolak di Masyarakat Kabupaten Malinau.
Alasan seperti ini sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkuan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan[11]. Selain di luar konteks hukum, sebenarnya Jaksa Penuntut Umum terlalu berlebihan menjadikan hal tersebut sebagai alasan di dalam kasasi.
Bukankah telah perdamaian terjadi antara pihak Korban dan  Terdakwa? Hal ini dapat dilihat dalam halaman 37 Putusan Pengadilan Negeri Malinau “bahwa meskipun unsur kelalaian tidak ditemukan dalam perbuatan terdakwa, namun terdakwa dan keluarganya telah melakukan itikat baik perdamaian dan bersedia memberikan uang duka kepada pihak keluarga korban sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan uang pemakaman sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), uang sebesar Rp.70.000.000,- (tuju puluh juta rupiah) yang dibayar secara bertahap selama 4 (empat) bulan, bantuan 200 sak semen serta bantuan lainnya sebagaimana tertuang dalam surat penyataan perdamaian yang terlampir dalam berkas perkara ini.”

Analisa Putusan Mahkamah Agung

1.Tentang Pertimbangan Hukum

            Mengenai pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara ini, menurut penulis sudah tepat. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa Terdakwa tidak dapat kesalahannya yang berupa kelalaian dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pertimbangan Mahkamah Agung ini memperkuat pertimbangan Pengadilan Negeri Malinau. Bahwa kelalaian/kekurang hati-hatian terdapat dalam diri Korban. Mahkamah Agung memberikan penguatan bahwa kesalahan dari korban dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf.
Dalam perkara ini, kita dapat melihat kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kebebasan yang dimiliki seorang hakim untuk mengarahkan tindakannya sesuai dengan kehendaknnya dapat berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan. Dalam arti, seorang hakim dapat bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum atau norma atau aturan yang dijadikan pegangan organisasi bersama oleh para hakim atau oleh organisasinya[12]. Hakim juga kembali kepada asas tiada pidana tanpa kesalahan (oen straff zonder schuld).
Mengenai pertimbangan bebas murni dan tidak murni sudah tidak relevan lagi untuk dibahas. Karena berdasarkann Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 28 maret 2013, Mahkamah Konstitusi membatalkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang intinya bahwa setiap putusan bebas dapat diajukan kasasi[13]. Berdasarkan uraian-uraian tersebut telah sesuai dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaran peradilan pada semua badan peradilan yang berada dibawahnya dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman[14]

2.Tentang Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung dapat memperkuat putusan pengadilan yang berada dibawahnya, dalam perkara ini adalah Putusan Negeri Malinau. Yang amar putusannya ialah membebaskan Terdakwa karena tidak terdapatnya kesalahan/kelalaian pada diri Terdakwa. Mahkamah Agung telah memberikan putusan sesuai teori/doktrin alasan pemaaf, yaitu unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Meskipun di dalam peraturan perundang-undangan tidak mengenal/di atur bahwa kesalahan/kelalaian korban bukanlah sebagai alasan pemaaf. Namun Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung mengesampingkan ketentuan hukum. Kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah-kaidah yang sah (mempunyai validity), tetapi juga harus merupakan kaidah-kaidah yang adil (harus mempunyai value)[15]. Bahwa Tujuan hukum yang terpenting adalah untuk mencapai keadilan di dalam masyarakat. Aparat penegak hukum sering begitu saja larut dalam rimba logika aturan yang serba formal legalistik tanpa tergugah melakukanh refleksi mengenai aturan yang dihadapinya.
Namun dalam putusan ini, penulis melihat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung sudah berani keluar dari pakem peraturan perundang-undangan yang kaku. Dalam ungkapan Prof Satjipto Rahardjo aparat penegak hukum perlu memiliki kemampuan membaca kaidah, bukan membaca peraturan. Kaidah itu adalah makna spritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai disitu saja bisa membawa malapetaka[16].
Putusan Mahkamah Agung ini juga diperkuat oleh ilmu pengetahuan/doktrin serta asas. Alasan pemaaf sesuai doktrin menyebutkan unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, yang terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Artinya bahwa kesalahan/kelalaian ada pada diri Korban. Bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Sehingga Terdakwa harus dibebaskan.


Sikap dan Pandangan Penulis
Dalam putusan ini, terdapat permasalahan hukum yang menarik yaitu pengajuan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atas dasar kelalaian kobran. Meskipun secara normatif di dalam peraturan perundang-undangan tidat mengenal/tidak diatur alasan pemaaf karena kesalahan/kelalaian korban. Namun didalam doktrin hal tersebut merupakan sebagai salah satu alasan pemaaf. Melalui yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa kesalahan pihak lain (korban) tidak menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tetapi Pengadilan Negeri Malinau dan Mahkamah Agung telah melakukan terobosan hukum dengan mengesampingkan Yurisprudensi, bahwa kelalaian/kesalahan korban dijadikan sebagai alasan pemaaf untuk membebaskan Terdakwa.

Tugas hakim didalam memeriksa dan memutus perkara selain praktis tetapi juga ilmiah. Atas kedua hal tersebut menyebabkan hakim harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk menguatkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebagai dasar putusannya. Dalam menciptakan hukum yang ideal, hakim harus memiliki keberanian untuk mengadili perkara agar mendapatkan keputsan yang seadil-adilnya serta tentu saja haruslah ditopang oleh ilmu pengetahuan hukum.

Sebagai penutup penulis mengutip Cardozo, seorang hakim dari Amerika
The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches in not discovery, but creation”.



[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Sofmedia, 2012), Hlm. 142
[2] E.Y. Kanter Sianturi dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dalam Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), Hlm. 194
[3] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), Hlm. 336-337
[4] H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hlm 189.
[5] Schaffmeister, N. Keijzer, PH Sutorius., Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 54.  -catatan : Di dalam buku, kutipan berbentuk skema/tabel.
[6] H.A. Zainal Abidin Farid. Op.Cit. Hlm 203.
[7] H.M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung : PT Refika Aditama, 2012), Hlm. 99
[9] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Konstitusi Press, 2012),Hlm. 118
[10] M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 569
[11] M.Yahya Harahap, Ibid. Hlm. 570
[12] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), Hlm. 42
[14] Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang No 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
[15] Soenarti Hartono, Apakah The Rule of Law Itu? (Bandung : Alumni, 1976), Hlm. 114
[16] Benard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm.62-63



*Tulisan ini bertujuan untuk mengubah persepsi apabila terjadi kecelakaan antara "kendaraan besar" dengan  "kendaraan kecil"maka yang salah adalah adalah kendaraan yang lebih besar.